Jumat, 3 Oktober 2025

Pemilu 2024

Hakim Arief Hidayat Usulkan Sistem Proporsional Terbuka Terbatas Diterapkan pada 2029

Menurutnya, perubahan pendirian dan posisi Mahkamah bukanlah menunjukkan inkonsistensi Mahkamah terhadap putusannya sendiri.

Penulis: Gita Irawan
TRIBUNNEWS/JEPRIMA
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman bersama Hakim MK lainnya menggelar sidang pleno pembacaan putusan terkait gugatan sistem Pemilu, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023). Pada sidang tersebut, MK yang dihadiri delapan orang hakim memutuskan sistem proporsional terbuka digunakan untuk Pemilu 2024. Satu orang Hakim MK yakni Wahiduddin Adams tidak hadir lantaran tengah menjalankan tugas ke luar negeri. TRIBUNNEWS/JEPRIMA 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu.

Menurutnya, perubahan pendirian dan posisi Mahkamah bukanlah menunjukkan inkonsistensi Mahkamah terhadap putusannya sendiri.

Namun, lanjut dia, perubahan yang dimaksud merupakan upaya Mahkamah agar hukum itu dapat memenuhi kebutuhan manusia dan agar mewujudkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution), adaptif, dan peka terhadap perkembangan zaman dan perubahan masyarakat.

"Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah ada tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem usulan saya, sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029," kata Arief di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta pada Kamis (15/6/2023).

"Menimbang dari keseluruhan uraian pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian dan oleh karenanya harus dikabulkan sebagian," sambung dia.

Menurutnya, isu hukum mengenai sistem pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka.

Baca juga: Dissenting Opinion, Hakim Arief Hidayat Usul Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas

Namun, kata dia, tidak berarti hal tersebut menghalangi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitasnya.

Oleh karena itu, menurutnya kebijakan hukum terbuka dapat dinilai konstitusionalitasnya apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, meruoakan penyalahgunaan wewenang (detournement se pouvoir), dilakukan dengan sewenang-wenang dan bertentangan dengan UUD 1945.

Setelah lima kali menyelenggarakan Pemilu, menurutnya diperlukan evaluasi, perbaikan, dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah empat kali diterapkan, yakni pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.

"Peralihan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan," kata Arief.

Sistem Proporsional Tertutup Ditolak

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Mahkamah Konstitusi pun membacakan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi sistem pemilu proporsional terbuka, Kamis (15/6/2023).

"Mengadili, dalam provisi, menolak permohonan provisi pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan tersebut di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis.

Sedangkan, Hakim MK juga menyatakan menolak permohonan para pemohon dengan seluruhnya.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," sambung Anwar Usman.

Dengan demikian, sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka.

MK menegaskan pertimbangan ini diambil setelah menyimak keterangan para pihak, ahli, saksi dan mencermati fakta persidangan.

Hakim pun membeberkan salah satu pendapatnya terkait sejumlah dalil yang diajukan oleh pemohon. Di mana, Hakim berpendapat bahwa dalil yang disampaikan pemohon terkait money politik dalam proses pencalegan seseorang tidak ada kaitannya dengan sistem Pemilu.

Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem Pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Hanya Dihadiri 8 Hakim Konstitusi

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno pembacaan putusan sistem Pemilu, Kamis (15/6/2023) hari ini.

Dalam persidangan, tampak hanya ada 8 Hakim Konstitusi yang hadir.

Menanggapi hal itu, Jubir MK Fajar Laksono mengatakan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tak hadir dalam sidang putusan sistem Pemilu, hari ini.

Hal itu, kata Fajar, Hakim Wahiduddin sedang ada tugas ke luar negeri.

"Hakim Wahiduddin sedang ada tugas MK ke luar negeri, berangkat tadi malam," kata Fajar, saat dihubungi, Kamis ini.

Lebih lanjut, Fajar menjelaskan, sidang pleno biasanya dihadiri sembilan Hakim Konstitusi.

Sedangkan dalam kondisi luar biasa, lanjutnya, sidang dapat dihadiri hanya dengan tujuh Hakim saja.

"Sidang pleno dihadiri oleh 9 hakim, dalam kondisi luar biasa dapat dihadiri 7 Hakim," kata Fajar.

"Kurang dari 7 hakim, sidang pleno tidak dapat dilaksanakan," lanjut Jubir MK itu.

Pantauan Tribunnews.com di lokasi di ruang sidang, pembacaan putusan Pemilu digabung dengan beberapa sidang putusan perkara lain, yang dijadwalkan digelar Kamis ini.

Hakim Konstitusi belum membacakan perkara putusan sistem Pemilu, hingga berita ini ditulis pukul 10.37 WIB.

Adapun para pemohon telah hadir.

Sedangkan, pihak saksi persidangan juga telah hadir, yaitu perwakilan dari DPR RI tampak Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman dan Arteria Dahlan. Selain itu, hadir juga perwakilan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sementara untuk Hakim Konstitusi yang hadir, yakni Hakim Anwar Usman, Hakim M. Guntur Hamzah, Hakim Enny Nurbaningsih, Hakim Saldi Isra, Hakim Suhartoyo, Hakim Daniel Yusmic P Foekh, Hakim Arief Hidayat, dan Hakim Manahan MP Sitompul.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved