Rabu, 1 Oktober 2025

Putusan Mahkamah Konstitusi Diubah

Jimly Asshiddiqie Sebut Ada Motif Tidak Baik di Balik Dugaan Pengubahan Putusan Soal Hakim Aswanto

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyebut ada motif tidak baik di balik dugaan pengubahan substansi putusan pencopotan hakim Aswanto

Penulis: Naufal Lanten
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews/Naufal Lanten
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie saat ditemui usai menghadiri Sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai ahli, di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (13/3/2023) 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyebut ada motif tidak baik di balik dugaan pengubahan substansi putusan pencopotan hakim Aswanto.

Hal ini disampaikannya usai menghadiri Sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai ahli di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (13/3/2023).

“Ini ada motif pribadi. Dikira ini akan berdampak kepada individu, padahal tidak. Putusan MK kan prospektif. Nah etika, itu tidak bicara substansinya ini. Etika itu bicara motifnya,” ucap Jimly.

“Wah ini ada motif yang tidak baik. Gitu kira-kira,” lanjut dia.

Dia mengatakan dugaan adanya pengubahan frasa ini menjadi serius meski hanya dua kata.

Pasalnya, lanjut dia, berubahnya dua kata tersebut berpengaruh pada substansi putusan MK.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie Bakal Beri Keterangan di Sidang Lanjutan MKMK, Harap Putusan Pulihkan Nama Baik MK

“Itu jadi serius walaupun cuma dua kata. Kan kalau dibiarkan bisa yang lain juga diubah. Dua kata di tempat lain. Dan bisa menyangkut substansi,” katanya.

Dia lantas membandingkan dugaan pengubahan putusan ini dengan mekanisme pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja.

Menurutnya, dalam Omnibus Law tersebut juga terjadi banyak perubahan meski sudah disahkan.

Baca juga: MKMK Periksa CCTV Untuk Analisa Dugaan Skandal Substansi Putusan Sidang yang Berubah

“Pokoknya sesudah proses pembentukan UU dipersoalkan melalui uji formil, maka MK juga harus melakukan hal yang sama,” katanya.

“Proses pembentukan putusan, pengumuman putusan publikasi itu harus sama dengan UU,” lanjut dia.

Sebut DPR 'Baper'

Lebih lanjut Jimly berbicara soal pentingnya saling kontrol dan keseimbangan antarlembaga negara.

Dalam ketatnegaraan khususnya di Indonesia, lanjut dia, ada lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang dalam hal ini adalah DPR RI.

Jimly menilai bahwa keseimbangan antarlembaga tersebut harus terjalin dengan baik.

Lembaga-lembaga itu pula, lanjut dia, harus menerima jika dalam prosesnya ada produk hukum yang dinilai bertentangan dengan konstitusi.

“Tentu apa yang diputuskan oleh masing-masing itu tidak mesti harus sama,” ucap Jimly.

Baca juga: MKMK Punya Waktu Hingga Pertengahan April Usut Kasus Perubahan Putusan

“Jadi kalau misalnya putusan pengadilan itu tidak memuaskan bagi politisi di parlemen maupun politisi di eksekutif ya jangan marah, jangan baper. Ini bagi tugas,” katanya.

Ia pun menyoroti sifat ‘baper’ yang dapat diartikan sebagai membawa perasaan yang tercampur dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara negara.

Menurutnya, profesionalitas harus dikedepankan dibandingkan dengan ego pribadi atau kelompok tertentu.

“Nah ini penting untuk menjaga demokrasi Pancasila kita, jadi harus dipisahkan perasaan pribadi dengan tanggung jawab institusi.”

“Jadi ada yang marah-marah apa 'kita udah capek bikin undang-undang kok dibatalin hanya dengan waktu sekian minggu lah' ya itu namanya baper, nggak boleh begitu. Itu loh harus dipisahkan, bagi tugas,” katanya.

Di sisi lain, Jimly memahami bahwa mekanisme penetapan ketentuan di DPR adalah dengan menentukan suara terbanyak.

Meski begitu, kata dia, MK tetap mesti mengontrol sebagai pemegang kendali tertinggi di konstitusi.

“Norma tertinggi itu UUD undang-undang dasar. Realita tertinggi UUD juga ujung-ujungnya duit. Ini harus dikendalikan.”

“Jadi jangan hanya karena jumlah, jumlah suara, jumlah saham, itu yang menentukan. Itu neoliberalisme pasar bebas politik, pasar bebas dan ekonomi pasar bebas itu kenyataan yang sekarang ini makin liberal tidak terkendali,” katanya.

“Nah maka perlu pengendali itulah norma tertinggi UUD yang sebenarnya.”

“Nah di sini dikawal oleh MK jadi kalau beda jangan marah dong anggota DPR Partai jangan marah gitu loh, begitu juga para menteri, bahkan presiden jangan marah,” papar Jimly.

Sebelumnya, Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengkritisi keputusan DPR yang secara tiba-tiba mencopot Aswanto dari jabatan wakil ketua MK.

Ia meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi menolak hasil rapat paripurna DPR dengan menerbitkan keputusan presiden yang mengangkat Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi.

“Presiden harus tegas. Jangan tindaklanjuti karena tidak benar mekanismenya. Kalau langkah ini dibenarkan, DPR berhak memecat hakim konstitusi kapanpun dia mau, nanti MA (Mahkamah Agung) juga akan memecat hakim konstitusi. Presiden juga akan melakukan hal yang sama. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Jimly seperti dikutip dari Kompas.id, Jumat (30/9/2022).

Menurut dia, pemberhentian Aswanto oleh DPR itu melanggar undang-undang karena yang bersangkutan baru memasuki masa purnatugas pada 2029 mendatang.

”Sama saja DPR memberhentikan hakim MK dan memilih penggantinya di luar prosedur undang-undang mengingat jabatan Aswanto sebagai hakim baru akan berakhir 2029. DPR tidak punya wewenang memberhentikan. Tidak boleh."

"Yang kedua, DPR tak berwenang memilih hakim baru karena tidak ada kekosongan. Ini tindakan sewenang-wenang. Kalau dibiarkan, hal ini bisa menghancurkan peradilan, independence of judiciary dihancurkan,” tutur dia.

Alasan DPR Copot Aswanto dari Hakim MK

Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto menjelaskan alasan pihaknya mencopot Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut dia, kinerja Aswanto amat mengecewakan sebagai salah satu perwakilan hakim MK dari DPR.

Sebab yang bersangkutan kerap menganulir produk hukum yang digagas legislatif.

"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," kata pria yang karib disapa Bambang Pacul itu di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (30/9/2022).

Politikus PDIP itu menyebut, Aswanto telah melanggar komitmen dengan DPR ketika menjabat hakim MK.

Oleh sebab itu, seluruh anggota Komisi III memutuskan untuk mencopotnya dari jabatan tersebut.

"Dasarnya anda tidak komitmen. Gitu lho. Enggak komit dengan kita, ya mohon maaf lah ketika kita punya hak dipake lah," ujarnya.

Ia menyatakan, pencopotan Aswanto itu merupakan keputusan politik dan tidak melanggar aturan yang berlaku.

"Ini keputusan politik, tentu ini nanti karena hadirnya keputusan politik juga karena hadirhya surat MK toh? Kan gitu lho, dasar-dasar hukumnya bisa dicari lah, tapi ini kan dasar surat MK yang mengkonfirmasi, tidak ada periodesasi," katanya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved