BPA Ancam Kesehatan Masyarakat, Aktivis Dorong BPOM Percepat Labelisasi AMDK
Sejumlah pakar, organisasi, dan aktivis lingkungan menyuarakan desakan kepada BPOM untuk mempercepat pelabelan galon guna ulang polikarbonat.
Berkat globalisasi serta temuan anyar pada jurnal-jurnal kesehatan, kini telah ditemukan berbagai informasi terbaru mengenai bahaya BPA.
Hasil pengawasan BPOM sendiri menunjukkan bahwa tren migrasi BPA dari galon polikarbonat yang beredar sudah masuk tahap mengkhawatirkan.
Menurut Sondang, temuan BPOM memperlihatkan bahwa air minum di dalam AMDK galon yang beredar di pasaran terdeteksi kandungan BPA sebanyak 8,67 persen.
Baca juga: Riset Masih Parsial, Regulasi Pelabelan BPA pada Galon Timbulkan Perdebatan Para Ahli
“BPOM juga harus meningkatkan perhatiannya. Migrasi BPA yang sudah masuk tahap mengkhawatirkan itu ditemukan di hampir 47 persen dari produk di sarana peredaran dan 30,91 persen di sarana produksi yang kita sampling,” jelas Sondang.
Bahkan, lanjut Sondang, berdasarkan sampel air yang diambil dari peredaran dan kami uji itu, dideteksi BPA sebesar 8,67 persen, dan dideteksi pula BPA sebesar 5 persen pada sampel yang diambil dari sarana produksi.
“Jadi terbukti memang ada BPA di dalam AMDK,” ungkapnya.
Mengingat bahaya tersebut, sosialisasi kepada masyarakat merupakan langkah awal untuk meningkatkan kesadaran konsumen akan bahaya dari BPA pada galon AMDK ini.
“Sambil menunggu peraturan pelabelan berproses, BPOM terus melakukan sosialisasi untuk menjelaskan ke masyarakat bahwa BPA memang sudah menjadi perhatian terkait masalah kesehatan,” kata Sondang.
Pada kesempatan yang sama, akademisi dari Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan, Departemen Kimia, FMIPA Universitas Indonesia, Dr. Budiawan, memaparkan hasil penelitian yang dilakukan timnya.
Hasil yang ditemukan oleh tim Dr. Budiawan pun menunjukkan hal serupa dengan penemuan yang ramai dipublikasikan selama ini, bahwa BPA membawa potensi gangguan kesehatan bagi mereka yang terpapar.
“Berdasarkan hasil penelitian saya dan kawan-kawan, efek BPA memang menguatkan dugaan yang sudah ada selama ini, yakni bisa menimbulkan gangguan pada hati, ginjal, kelenjar air susu ibu, hingga memengaruhi kesuburan orang yang terpapar,” terang Budiawan.
“BPA di Amerika dan Eropa sudah ada pembatasannya dan sudah masuk dalam regulasi. Menurut saya harus ada pembatasan (di Indonesia) untuk meminimalkan risikonya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Budiawan menyebut bahwa dampak BPA tidak bisa dilihat dalam jangka pendek karena bahaya dari paparan bahan kimia memiliki dampak jangka panjang dan membutuhkan waktu untuk berubah menjadi gangguan kesehatan.
“Risiko itu bisa terjadi karena orang biasa minum delapan gelas air setiap hari. Bisa dibayangkan berapa banyak BPA yang masuk setiap hari (ke dalam tubuh). Berdasarkan penelitian para ahli dan tim kami sendiri, efek jangka panjangnya berdampak negatif bagi kesehatan apabila tidak diregulasi dengan baik,” sambung Budiawan.
Lebih lanjut, Budiawan menyebut bahwa penggunaan plastik dalam galon AMDK itu sendiri tidaklah menjadi masalah. Namun, BPA yang bermigrasi justru merupakan hal yang menimbulkan bahaya.
Menutup paparannya, ia kemudian menegaskan bahwa regulasi pelabelan dari BPOM merupakan hal yang dapat meminimaliasi bahaya paparan BPA pada AMDK.
“Kalau BPA masih dibolehkan dengan pembatasan tertentu, maka harus terdapat dalam label kemasan. Supaya masyarakat bisa paham dari kemasannya,” tutupnya.