BPA Ancam Kesehatan Masyarakat, Aktivis Dorong BPOM Percepat Labelisasi AMDK
Sejumlah pakar, organisasi, dan aktivis lingkungan menyuarakan desakan kepada BPOM untuk mempercepat pelabelan galon guna ulang polikarbonat.
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah pakar, organisasi, dan aktivis lingkungan menyuarakan desakan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mempercepat pelabelan galon guna ulang polikarbonat berbahan Bisphenol A (BPA).
Desakan tersebut adalah respon atas aksi para pelaku usaha dan market leader yang terus berusaha menolak dan menjegal rencana BPOM untuk melakukan pelabelan pada galon Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) berkandungan BPA.
Tindakan yang dinilai lebih mengutamakan keuntungan bisnis semata ini menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, mengingat kesehatan puluhan juta masyarakat yang menjadi konsumen AMDK dipertaruhkan dalam hal ini.
Maka itulah, para pakar, organisasi, serta aktivis lingkungan kian gencar menggaungkan dukungannya terhadap rancangan regulasi BPOM dengan membangun gerakan yang bertajuk ‘Gerakan Percepatan Labelisasi BPA Kemasan AMDK’.
Baca juga: Pendapat Pakar Soal Regulasi BPA, Mayoritas Ingin Lindungi Kesehatan Masyarakat
Gerakan ini dimotori organisasi lingkungan seperti Net Zero Waste Management Consortium, Jejak Sampah, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) dan Koalisi Pejalan Kaki.
Edukasi masyarakat dapat jadi langkah awal yang krusial dalam gerakan ini. Karenanya, pihak-pihak terkait telah melaksanakan kegiatan sosialisasi bertajuk “BP-A Labeling: Pencegahan Risiko Terpapar BPA Kemasan AMDK” yang dikemas dalam bentuk Interactive Talk-Show pada saat acara Car Free Day di Jakarta, Minggu (2/10/2022) lalu.
Urgensi percepatan pelabelan BPA pada galon AMDK

Para aktivis yang tergabung dalam ‘Gerakan Percepatan Labelisasi BPA Kemasan AMDK’ sejak awal bermaksud membangun dialog antar para pihak, terutama dalam rangka mendorong pemerintah melakukan penetapan ketentuan pelabelan BPA secepatnya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, percepatan pelabelan BPA pada galon AMDK menjadi urgensi dikarenakan bahaya yang ditimbulkan bagi masyarakat yang mengonsumsi AMDK.
Menurut perwakilan Net Zero Waste Management Consortium, Amalia S Bendang, hal ini sejalan dengan kewajiban untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dari potensi risiko terpapar material bahan beracun dan berbahaya (B3) dalam air minum yang dikonsumsi.
"Berdasarkan bahaya yang timbul dari paparan BPA tersebut, maka pelabelan ‘Berpotensi Mengandung BPA’ pada kemasan AMDK sangat perlu diterapkan,” kata Amalia.
Ia melanjutkan, “Kami dari komponen masyarakat sipil yang tergabung dalam Net Zero Waste Management Consortium, Koalisi Pejalan Kaki dan JejakSampah, mendukung rencana BPOM untuk pelabelan BPA pada kemasan AMDK sesegera mungkin. Makin cepat makin baik.”
Direktur Pengawasan Produksi Pangan Olahan BPOM, Sondang Widya Estikasari, turut hadir dan menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan talkshow ini. Dalam paparannya, ia memberikan penjelasan mengenai bahaya BPA pada kesehatan manusia, mulai dari potensi menyebabkan infertilitas, gangguan autisme, hiperaktif, hingga obesitas.
“Galon polikarbonat itu jumlahnya 96 persen dari seluruh galon yang beredar di Indonesia,” katanya. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat tak memiliki banyak pilihan selain mengonsumsi air minum dari galon polikarbonat yang mengandung BPA.
Temuan lebih lanjut mengenai kandungan BPA pada AMDK

Berkat globalisasi serta temuan anyar pada jurnal-jurnal kesehatan, kini telah ditemukan berbagai informasi terbaru mengenai bahaya BPA.
Hasil pengawasan BPOM sendiri menunjukkan bahwa tren migrasi BPA dari galon polikarbonat yang beredar sudah masuk tahap mengkhawatirkan.
Menurut Sondang, temuan BPOM memperlihatkan bahwa air minum di dalam AMDK galon yang beredar di pasaran terdeteksi kandungan BPA sebanyak 8,67 persen.
Baca juga: Riset Masih Parsial, Regulasi Pelabelan BPA pada Galon Timbulkan Perdebatan Para Ahli
“BPOM juga harus meningkatkan perhatiannya. Migrasi BPA yang sudah masuk tahap mengkhawatirkan itu ditemukan di hampir 47 persen dari produk di sarana peredaran dan 30,91 persen di sarana produksi yang kita sampling,” jelas Sondang.
Bahkan, lanjut Sondang, berdasarkan sampel air yang diambil dari peredaran dan kami uji itu, dideteksi BPA sebesar 8,67 persen, dan dideteksi pula BPA sebesar 5 persen pada sampel yang diambil dari sarana produksi.
“Jadi terbukti memang ada BPA di dalam AMDK,” ungkapnya.
Mengingat bahaya tersebut, sosialisasi kepada masyarakat merupakan langkah awal untuk meningkatkan kesadaran konsumen akan bahaya dari BPA pada galon AMDK ini.
“Sambil menunggu peraturan pelabelan berproses, BPOM terus melakukan sosialisasi untuk menjelaskan ke masyarakat bahwa BPA memang sudah menjadi perhatian terkait masalah kesehatan,” kata Sondang.
Pada kesempatan yang sama, akademisi dari Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan, Departemen Kimia, FMIPA Universitas Indonesia, Dr. Budiawan, memaparkan hasil penelitian yang dilakukan timnya.
Hasil yang ditemukan oleh tim Dr. Budiawan pun menunjukkan hal serupa dengan penemuan yang ramai dipublikasikan selama ini, bahwa BPA membawa potensi gangguan kesehatan bagi mereka yang terpapar.
“Berdasarkan hasil penelitian saya dan kawan-kawan, efek BPA memang menguatkan dugaan yang sudah ada selama ini, yakni bisa menimbulkan gangguan pada hati, ginjal, kelenjar air susu ibu, hingga memengaruhi kesuburan orang yang terpapar,” terang Budiawan.
“BPA di Amerika dan Eropa sudah ada pembatasannya dan sudah masuk dalam regulasi. Menurut saya harus ada pembatasan (di Indonesia) untuk meminimalkan risikonya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Budiawan menyebut bahwa dampak BPA tidak bisa dilihat dalam jangka pendek karena bahaya dari paparan bahan kimia memiliki dampak jangka panjang dan membutuhkan waktu untuk berubah menjadi gangguan kesehatan.
“Risiko itu bisa terjadi karena orang biasa minum delapan gelas air setiap hari. Bisa dibayangkan berapa banyak BPA yang masuk setiap hari (ke dalam tubuh). Berdasarkan penelitian para ahli dan tim kami sendiri, efek jangka panjangnya berdampak negatif bagi kesehatan apabila tidak diregulasi dengan baik,” sambung Budiawan.
Lebih lanjut, Budiawan menyebut bahwa penggunaan plastik dalam galon AMDK itu sendiri tidaklah menjadi masalah. Namun, BPA yang bermigrasi justru merupakan hal yang menimbulkan bahaya.
Menutup paparannya, ia kemudian menegaskan bahwa regulasi pelabelan dari BPOM merupakan hal yang dapat meminimaliasi bahaya paparan BPA pada AMDK.
“Kalau BPA masih dibolehkan dengan pembatasan tertentu, maka harus terdapat dalam label kemasan. Supaya masyarakat bisa paham dari kemasannya,” tutupnya.