Kamis, 2 Oktober 2025

Analisis Pakar

Awan Gelap Subsidi BBM (2-Habis)

Ssialnya, sebesar 80 persen subsidi BBM ini justru dinikmati oleh orang kaya dengan mobil mewahnya, hanya 20 persen subsidi ini dimanfaatkan rakyat.

Editor: cecep burdansyah
Istimewa
Addin Jauharudin 

Oleh: Addin Jauharudin, MM
Bendahara Umum PP GP Ansor/Mahasiswa Program Doktoral Universitas Brawijaya 

Berapa seharusnya, harga BBM tanpa subsidi?

Mari kita cermati bersama. Dengan asumsi saat ini Indonesian crude price (ICP) sebesar 100 dollar AS per barel dan kurs Rp 14.450 per dollar AS, maka harga keekonomian Solar mencapai Rp 13.950 per liter, jauh lebih rendah dari harga jual di masyarakat yang sebesar Rp 5.150 per liter.

Begitu pula dengan Pertalite yang harga keekonomiannya mencapai Rp 14.450 per liter, tetapi harga jual di masyarakat hanya sebesar Rp 7.650 per liter. Selisih inilah yang pada akhirnya ditanggung oleh pemerintah melalui subsidi dan kompensasi.

Nah, sialnya, sebesar 80 persen subsidi BBM ini justru dinikmati oleh orang kaya dengan mobil mewahnya, hanya 20 persen subsidi ini dimanfaatkan rakyat miskin.

Cerita lama, subsidi BBM tidak tepat sasaran. Belum lagi, Pertamax, ternyata juga disubsidi pemerintah. Harga saat ini BBM Pertamax sebesar Rp 12.500 per liter itu bukan harga sebenarnya. Harga riil atau pasar dari pertamax dikatakan mencapai Rp 17.300 per liter.

Di akhir episode polemik, akhirnya pemerintah memutuskan menyesuaikan harga
Pertalite diputuskan naik dari Rp 7.650 jadi 10.000 per liter; Solar dari Rp 5.150 per liter menjadi
Rp 6.800 per liter; dan Pertamax nonsubsidi naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.

Di sisi lain, pemerintah sudah menyiapkan jaring pengaman sosial sebesar Rp 24,17 triliun
untuk memitigasi dampak kenaikan BBM. Pemberian bansos tambahan diharapkan dapat
memitigasi dampak kenaikan BBM, menjaga daya beli masyarakat yang terdampak lonjakan
harga secara global.

Baca juga: Awan Gelap Subsidi BBM (1)

Pembaca yang budiman, kita juga patut mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk
menyetop belanja subsidi BBM, karena seperti hukum ekonomi sehari-hari: utamakan belanja
sesuai kebutuhan yang penting, mendesak, bahkan lebih bagus belanja yang justru bisa
meningkatkan produktivitas. Belanja subsidi BBM bukan cinta monyet, berkorban membabi buta.

Belanja subsidi BBM sebesar Rp 502,4 triliun ini sejatinya bisa untuk membangun infrastruktur
yang lebih dibutuhkan masyarakat. Dengan anggaran Rp 502,4 triliun, pemerintah bisa
membangun 3.333 unit rumah sakit, dengan asumsi biayanya Rp 150 miliar per unit; sekolah
dasar sebanyak 227.886 unit senilai Rp 2,19 miliar per unit; bagun ruas jalan tol sepanjang 3.501
kilo meter; atau bisa digunakan untuk membangun 41.666 unit puskesmas senilai Rp 12 miliar.

Pemerintah akan menyalurkan tiga jenis bantalan sosial tambahan, yakni
pertama, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan alokasi anggaran sebesar Rp12,4 triliun dan
menyasar 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM). BLT ini disalurkan oleh Kementerian
Sosial (Kemensos) melalui PT Pos Indonesia (Persero).

Kedua, Bantuan Subsidi Upah (BSU) dengan alokasi anggaran Rp 9,6 triliun. Bantuan yang akan disalurkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ini akan diberikan kepada 16 juta pekerja sasaran yang masingmasing menerima sebesar Rp 600 ribu.

Ketiga, pemerintah daerah (pemda) diminta menyiapkan sebanyak 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU), yaitu DAU (Dana Alokasi Umum) dan DBH (Dana Bagi Hasil), untuk pemberian subsidi di sektor transportasi.

Secara simultan, di forum global, Indonesia berjuang Presidensi G20 berperan mengatasi
krisis global, khususnya sektor energi. Indonesia menyuarakan dan masif mendorong
direalisasikan dengan transisi energi yang terjangkau dan ramah lingkungan melalui transfer
teknologi dan pengetahuan antara negara maju dan berkembang.

Menganut ajaran Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, Ki Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (Di depan memberi contoh yang baik, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).

Indonesia memulainya dengan menggunaan mobil listrik sebagai kendaraan resmi G20. Upaya ini sekaligus merefleksikan komitmen Indonesia dalam memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau 41% dengan dukungan internasional di tahun 2030 dan net zero emissions di tahun 2060.

Di Forum Presidensi G20, Indonesia menegaskan untuk menargetkan proporsi energi baru
dan terbarukan (EBT) mencapai 23% pada 2025. Dalam kepemimpinan Presidensi G20, Indonesia harus bisa menjadi model dalam program transisi energi, baik dari segi percepatan maupun komposisinya.

Dari segi komposisinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan, Indonesia memiliki hampir semua sumber daya EBT, sebut saja sinar matahari/pembangkit listrik tenaga surya (PLTS); angin/pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga air (PLTA) seperti dari ombak laut.

Aksi nyata mengalihkan transisi energi, yakni Indonesia mengoptimalkan momentum Presidensi G20 untuk mendorong sinergi antara negara berkembang dan maju. Tentu, dimulai dari Indonesia.

PT Pertamina (Persero) meneken empat kerja sama dengan swasta sebagailangkah serius mengembangkan proyek EBT di Bali beberapa waktu lalu. Salah satunya, denganJapan Oil Gas and Metals National Corporation (JOGMEC) yang sepakat menandatangani perjanjian studi bersama untuk proyek injeksi CO2 atau CCUS-EOR di Jatibarang.

Semoga upaya Indonesia menular, menjadi langkah serempak dunia untuk menghadapi krisis demi krisis. Toh, setidaknya, dunia telah teruji mampu melewati krisiskesehatan dan ekonomi sepanjang pandemi COVID-19 selama dua tahun ini.*

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved