Kolaborasi Freeport Bangkitkan Karya Seni Ukir Kamoro
Suku Kamoro yang tinggal di wilayah pesisi selatan Papua menyimpan kekayaan dari karya seni mereka yang diturunkan secara turun mmenurun
TRIBUNNEWS.COM – Menjadi bagian Indonesia, Papua menyimpan kekayaan budaya lewat berbagai karya seni. Salah satu yang mungkin jarang didengar adalah seni ukir khas Bumi Cendrawasih. Adalah suku Kamoro, suku yang tinggal di wilayah pesisir selatan Papua, Kabupaten Mimika, Papua yang terus menerus menyimpan kekayaan dari karya seni mereka.
Seorang pemuda suku Kamoro, Hendrikus Wiriyu (33) adalah salah satu tokoh yang berperan dalam melestarikan seni ukir di daerahnya. Ditemui di kampung Nawaripi, Distrik Wania, Kabupaten Mimika, Papua, sosok ini sudah berkarya sejak berusia 17 tahun setelah dikukuhkan lewat Karapao. “Saya mulai mengukir setelah diinisiasi lewat karapao,” ujarnya.
Karapao adalah ritual besar pengukuhan hak adat bagi anak laki-laki Kamoro untuk meneruskan tradisi garis keturunannya sebagai pengukir, penari, penyanyi untuk ritual adat, atau peran lainnya.
Sampai saat ini, ia tak pernah menghitung jumlah patung kayu yang pernah diukirnya. Namun, pemuda suku Kamoro itu mengingat eme alias tifa, gendang khas Papua, sebagai karya ukir pertamanya.
Sebagai karya awalnya, eme, tak bisa dianggap sepele. Ia menuturkan proses panjang membuat karya tersebut mulai dari mencari kayu waru di hutan, memotongnya menjadi gelondongan, memahat, lalu mengukir motif seperti insang ikan dan sungai di permukaannya dan memasangkan selaput gendang yang diambil dari kulit biawak.
Karyanya yang makin banyak pun lama-lama menghasilkan pundi-pundi hingga jutaan rupiah. Satu per satu ukiran buatannya dibeli kolektor seni Ibu Kota lewat perantara, Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, artinya ”Seorang Pengukir Muda”, sebuah lembaga pelestari budaya Kamoro.
”Uangnya saya pakai beli alat pahat dan ukir. Sekarang saya fokus menjadi pengukir,” ujar Hengky.
Siang itu di Kampung Nawaripi, tepatnya di bengkel ukir Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Hengky sibuk dengan sebuah karya baru. Sebilah kayu sedikit demi sedikit ia pahat dengan pisau ukir dan palu untuk dibentuk menjadi perahu, miniatur alat transportasi sehari-hari orang Kamoro.
Herman Kiripi (43), Ketua Yayasan Maramowe yang juga pengukir, mengatakan, semua motif ukiran itu melambangkan makanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari suku Kamoro.
”Meski motifnya sama, orang Kamoro kalau bikin ukiran tidak akan pernah mirip. Setiap karya itu unik, selalu ada perbedaan,” katanya.
Untuk mewarnai motif-motif itu, para pengukir Kamoro hanya menggunakan pewarna alami, misalnya warna merah, didapatkan dari biji-biji kecil buah watae atau kesumba keling (Bixa orellana), sedangkan hijau dari dedaunan tanaman rambat, seperti ubi jalar.
Dengan segala keunikannya, tradisi seni ukir begitu sarat makna dalam kehidupan suku Kamoro. Layaknya foto, kata Herman, ukiran orang Kamoro untuk mengenang dan mengabadikan orang-orang yang mereka kasihi, seperti orangtua.
Keistimewaan lainnya, berbagai ritual adat hanya dapat diadakan dengan ukiran tertentu. Karapao yang hanya bisa terlaksana jika tiang mbitoro yang penuh ukiran, dari wajah manusia hingga sayap di puncaknya, telah berdiri. Pembuatan mbitoro, dari kayu dan akar pohon kiiko alias kepuh (Sterculia foetida) juga diiringi berbagai ritual sakral sejak penebangan pohonnya.
Herman menegaskan bahwa karya ukiran tak akan pernah bisa terlepas dari identitas orang Kamoro.
”(Seni ukir) Harus kami buat terus supaya (tradisi) ini tidak terputus. Jadi, anak dan cucu kami bisa ikut mengukir,” ujarnya.
Cerita yang sama juga disampaikan oleh pendiri sekaligus pendamping Yayasan Maramowe, Luluk Intarti, setiap karya ukir Kamoro selalu memiliki jiwa dan cerita di baliknya. Motif-motif karya seni ukir tersebut hadir sebagai cerminan kehidupan sehari-hari dan untuk ritual.
Sempat tenggelam lalu bangkit
Seni ukir sempat menghilang dari pada abad ke-19 ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan outpost di Kokonao, Mimika Barat, dan Gereja Katolik. Pemerintah Belanda juga membentuk kampung-kampung untuk menghentikan pola seminomaden orang Kamoro yang menghambat pendataan warga. Di samping itu, ritual-ritual adat, seperti karapao dapat memakan waktu 1,5 tahun, juga dilarang.
”Kalau ritual hilang, ukiran tidak lagi punya makna sehingga orang Kamoro berhenti mengukir. Terjadilah degradasi budaya ukir,” katanya.
Keadaan ini bertahan bertahun-tahun hingga kehadiran ahli sejarah dan antropologi berkebangsaan Amerika Serikat dan Hongaria, Kal Muller, pada 1996 ke Kampung Kamoro. Luluk mengatakan, Muller melihat potensi seni ukir Kamoro yang juga luar biasa layaknya di kalangan suku Asmat.
Lewat gagasan Muller dan dukungan dari PT Freeport Indonesia (PT FI), festival budaya Kamoro Kakuru digelar dengan tujuan merevitalisasi tradisi ukir Kamoro, terutama penelitian, pengumpulan data, dan pelatihan demi membangkitkan kembali semangat mengukir.
Upaya revitalisasi budaya ukir tersebut menjadi cikal bakal Yayasan Maramowe yang memfasilitasi pemasaran karya, pertama dengan pendirian sebuah galeri karya ukir di Kampung Nawaripi. Tim yang dipimpin Muller dan PT FI juga menjembatani pemasaran ke para kolektor seni, antara lain di Jakarta dan Bali, dengan menggelar pameran.
”Program kerja Pak Muller untuk menyelamatkan budaya Kamoro ini dapat dukungan penuh dari Freeport. Semangat dan kebanggaan mengukir muncul lagi. Dampaknya, ukiran tetap ada, mutu ukiran lebih bagus. Jumlah seniman juga bertambah banyak, terutama yang muda-muda. Jadi, regenerasinya berjalan,” kata Luluk.
Menjelang masa purnatugas Muller pada 2014, Yayasan Maramowe didirikan agar kerja-kerja preservasi budaya ini tak berhenti. Kini, para pengurus yayasan rutin turun tiga bulan sekali untuk mengangkut hasil karya dari 25 kampung yang didiami suku Kamoro untuk dipasarkan.
cara tersebut memudahkan pengukir sehingga tak perlu susah-susah menempuh jalur darat ke Nawaripi untuk menjual ukirannya.
”Ketika kami turun ke lapangan untuk mengambil ukiran itu, biasanya kami beri DP (down payment/jaminan) lebih dulu. Misal harga ukiran Rp 600.000, kami beri DP Rp 300.000. Setelah ukiran terjual, baru sisanya kami berikan ke pengukir supaya mereka tidak putus mengukir,” kata Herman.
Sulitnya akses ke kampung-kampung Kamoro akibat minimnya infrastruktur menjadi tantangan terbesar Yayasan Maramowe. Berkat dana pengembangan masyarakat PT FI, semua itu bisa terlaksana dengan lancar.
”Setiap tahun paling tidak sampai Rp 4 miliar, kadang lebih,” kata Luluk.
Luluk menilai program revitalisasi budaya Kamoro sukses karena besarnya minat masyarakat untuk terus mengukir dan tradisi itu tetap bertahan di suku Asmat, Sempan, dan Kamoro.
”Kalau ukiran Asmat, kan, semua orang tahu. Tetapi tidak semua orang tahu tentang budaya Kamoro. Nah, inilah yang harus kita rawat, kita bantu promosikan,” ujarnya.
Penanggung jawab program pengembangan budaya Kamoro dari Community Development PT FI, Reza Sofyan, mengatakan, perusahaan bertanggung jawab menjaga budaya dan kearifan lokal.
”Kami ingin pengukir muda tumbuh. Namun, kalau pengukir tidak memiliki pendapatan, kan, tidak mungkin berkembang. Jadi, kami terus membantu agar mereka mau jadi pengukir dan bisa mendapat penghasilan,” katanya.
Bersama yayasan, PT Freeport Indonesia membantu karya seni ukir Kamoro tetap menggema sampai saat ini dan mendampingi ratusan seniman yang ada untuk menjaga seni ukir tak hilang ditelan zaman.