Luhut Pandjaitan Vs Haris Azhar
Haris-Fatia Ditetapkan Tersangka, Jubir Luhut: Buka Saja di Pengadilan, Jangan 'Ngalor Ngidul'
"Skandal bisnis apaan? Sudahlah jangan ngalor ngidul. Buka aja di pengadilan kalau faktual infonya," kata Jodi ketika dihubungi Tribunnews.com.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mempertanyakan skandal yang dimaksud oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi atas penetapan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti terkait kasus dugaan fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan.
Jodi meminta pihak mereka untuk tidak berbicara ngalor-ngidul terkait kasus tersebut.
Hal tersebut disampaikan juga merespons pernyataan Haris atas penetapan tersangka kepadanya dan Fatia terkait kasus tersebut.
"Skandal bisnis apaan? Sudahlah jangan ngalor ngidul. Buka aja di pengadilan kalau faktual infonya," kata Jodi ketika dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (20/3/2022).
Baca juga: Jadi Tersangka soal Pencemaran Nama Baik Luhut, Haris Azhar dan Fatia akan Penuhi Panggilan Polisi
Jodi juga mengatakan pernyataan-pernyataan pihak Haris dan Fatia yang mengklaim sebagai pejuang HAM, seolah harus diberikan kekebalan hukum untuk bebas memfitnah dan merusak nama orang.
Apalagi, lanjut dia, pernyataan pihak Haris dan Fatia seakan menumpahkan semua yang terjadi di Papua adalah perbuatan Luhut.
"Mereka masih saja terus melakukan fitnah, seolah tidak belajar bahwa mulutmu adalah harimaumu," kata Jodi.
"Apa bedanya mereka dengan para artis, influencer yang sekarang terkena kasus hukum karena pencemaran nama baik orang lain? Janganlah terus berlindung di balik jubah pejuang HAM," lanjut Jodi.
Ia mengatakan kalau pihak Haris dan Fatia siap menuduh orang, maka mereka juga harus siap membuka yang mereka sebut kebenarany tersebut di jalur hukum.
Jodi juga mengatakan kalau pihak Haris dan Fatia melebar kemana-kemana maka semakin jelas mereka tidak bisa membuktikan tuduhannya.
Baca juga: Menko Luhut Bahas Food Estate di Kementan, Minta PUPR Segera Bangun Irigasi dan Infrastruktur Lainya
"Untuk membuktikan pernyataan yang mereka anggap seakan-akan benar, dibuktikan saja di pengadilan mengapa harus membentuk opini-opini sesat lagi. Jangan mengklaim sebagai seolah pemilik kebenaran di republik ini," kata Jodi.
Diberitakan sebelumnya Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus dugaan fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Rencananya, Haris dan Fatia akan dipanggil untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada Senin (21/3/2022).
Haris Azhar, dalam konfrensi pers hari ini, Sabtu (19/3/2022) sudah sangat yakin jika secara fisik, juga Fatia, bisa dipenjara.
Namun, gagasan yang dibicarakan dalam kanal YouTube, yang merujuk pada riset sejumlah organisasi masyarakat sipil, tak bisa dipenjara.
"Saya mau bilang gini, badan saya fisik saya dan saya yakin saudara Fatia, kami bisa dipenjara. Tapi kebenaran yang kami bicarakan dalam video itu tidak bisa dipenjara," ucap Haris.
Atas penetapan status tersangka ini, Haris menganggapnya sebagai fasilitas negara yang diberikan kepada dirinya ketika mengungkap sebuah fakta.
Baca juga: Ditetapkan Jadi Tersangka, Haris Azhar: Fisik Saya dan Fatia Bisa Dipenjara Tapi Kebenaran Tidak
Fakta itu, kata dia, soal konflik kepentingan seseorang dalam posisinya sebagai pebisnis dan pejabat publik.
Fakta kedua, masalah yang terus terjadi di Papua, yang secara praktik terjadi merujuk dengan situasi di Intan Jaya.
Kata Haris, negara lebih baik mengurus soal Papua ketimbang mempidanakan dirinya, juga Fatia.
"Dari pada negara sibuk memidanakan kami, lebih baik urus Papua, dan saat ini situasi buruk di intan Jaya terus terjadi. Pengungsian masih terus terjadi," sebutnya.
Haris mengaku kasihan dengan penguasa saat ini, sebab dengan menetapkan dirinya dan Fatia sebagai tersangka, maka hanya akan menambah akumulasi kegagalan memimpin bangsa ini.
Dalam bahasa Haris, ini merupakan tindakan judicial harrasment, pelecehan terhadap hukum.
"Saya kasihan kepada penguasa karena menambah akumulasi kegagalan memimpin bangsa ini. Ini kami sebut sebagai judicial harrasmenet. Kami bukan mau mengubur faktanya, tapi kami mau mengatakan caranya tidak seperti ini. Justru kami mau mau menantang fakta tersebut," katanya.
Sementara itu, Fatia menilai ada sebuah standar ganda.
Sebab, ketika pejabat publik diduga melakukan sebuah manipulasi atau kebohongan, hal itu tidak dibahas atau diuji.
Sementara, apa yang dilakukan dia, juga Haris, menyampaikan sesuatu yang merujuk pada hasil riset.
"Dalam catatan KontraS, dalam beberapa kasus yang kami dampingi, khsusunya oleh kekerasan aparat hukum, itu jarang sekali ada yang masuk ke dalam hukum pidana. Memang polanya kekerasanya masih sama, justru hari ini dilegitimasi oleh undang-undang untuk pejabat publik mengkriminalisasikan warga," kata Fatia.
Ia menilai, kriminalisasi terhadap dirinya dan Haris bukan pertama kali terjadi.
Sebab, orang-orang di Papua setiap harinya terjadi konflik tertutup.
Terkait hal itu, Fatia dan Haris menyatakan siap memenuhi panggilan polisi.
Nurkholis Hidayat selaku kuasa hukum mengatakan, dua kliennya akan diperiksa penyidik Polda Metro Jaya pada Senin besok pukul 10.00 WIB, sedangkan Fatia pukul 14.00 WIB.
"Kami sampaikan bahwa keduanya akan senang hati menghadiri proses pemeriksaan tersebut tentu untuk verbal BAP," kata Nurkholis.
Nurkholis mengatakan, Haris dan Fatia akan memberikan keterangannya sebagaimana yang sudah disampaikan pada agenda dua kali pemanggilan sebelumnya saat sebagai saksi.
Sementara itu, kubu Haris dan Fatia juga akan memberikan informasi dan dokumen tambahan kepada polisi.
"Tentunya ada informasi-informasi yang akan ditambahkan dan dokumen-dokumen yang akan ditambahkan terkait proses kepentingan tersangka," sambungnya.
Nurkholis sudah menduga, kedua kliennya akan ditetapkan sebagai tersangka sejak SPDP dikirim ke kejaksaan.
"Sebenarnya sejak kepolisian meningkatkan statusnya menjadi penyidikan sebulan lalu yang ditandai dengan SPDP kepada kejaksaan dan kami terlapor, kita sudah menduga bahwa memang akan dengan segera penetapan tersangka dan pemanggilan tersangka akan dilakukan," ujar dia.
Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, video tersebut mengungkap fakta penting bahwa pejabat publik mencampurkan antara bisnis dan jabatannya.
Salah satu hal yang paling dilarang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
"Namun mengungkap fakta tersebut di Indonesia kini resikonya adalah pemenjaraan meskipun Haris-Fatia memiliki bukti yang solid dalam pengungkapan tersebut," kata Arif Maulana dari LBH Jakarta dalam jumpa pers daring, Sabtu (19/3/2022).
Sejak awal, tim advokasi menilai bahwa kasus ini ialah pemidanaan yang dipaksakan mengingat terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penyidikan.
Di antaranya yakni, penerapan pasal dalam penyidikan tidak memenuhi unsur pidana; proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini melanggar SKB Pedoman Implementasi UU ITE; dan proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini bertentangan dengan Surat Edaran Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Tim advokasi menilai penetapan tersangka ini harus diuji secara hukum, agar penggunaan instrumen hukum dan aparat penegak hukum untuk tujuan membungkam tidak dibiarkan leluasa dan terus diulang-ulang oleh pihak yang merasa berkuasa.
"Sebagaimana dengan janji jabatannya, aparat penegak hukum hanya mengabdi pada konstitusi dan negara, bukan mengabdi pada kekuasaan. Oleh karenanya berhentilah menjadi alat kekuasaan dan kembali melayani konstitusi dan kepentingan publik, bukan kepentingan individu," kata Arif.
"Selain itu, pemidanaan untuk tujuan pembungkaman ini juga menunjukkan garis batas tentang kebenaran dan pihak yang khawatir terbongkarnya skandal yang menempuh cara tidak demokratis," imbuhnya.
Di tengah praktik kriminalisasi ini, disebut tim advokasi, kebebasan sipil di Indonesia terutama di Papua ada dalam kondisi krisis ketika penangkapan sewenang-wenang, pembatasan akses, pembunuhan terhadap warga sipil, serta pengungsian akibat dari dampak eksploitasi sumber daya alam dan konflik bersenjata di Papua turut terjadi.
"Bahwa berangkat dari situasi tersebut, penetapan tersangka bukan menjadi peristiwa tunggal semata melainkan bereskalasi terhadap kondisi di Papua yang akan menghadapi ancaman dan tantangan lebih serius," ujar Arif.