Presidential Threshold
Hakim Konstitusi Arief Hidayat: Soal Besar Kecil Persentase PT Bisa Datang Ke DPR atau Pemerintah
Arief Hidayat menjelaskan sikap Mahkamah Konstitusi terkait permohonan terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan sikap Mahkamah Konstitusi terkait permohonan pengujian Undang-Undang atau judicial review terhadap pasal 222 Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Hal tersebut terungkap ketika tiga Panel Hakim Konstitusi telah selesai menyampaikan pandangan serta sarannya atas permohonan yang diajukan Budayawan Jaya Suprana, Selasa (8/3/2022).
Setelah mendengar pandangan dan saran dari para hakim, Jaya Suprana kemudian menanyakan apakah permohonannya kepada MK tersebut salah alamat dan seharusnya diajukan ke DPR.
Arief kemudian menjelaskan ada tiga sikap MK terkait permohonan pengujian UU tersebut dan ambang batasnya.
Sikap tersebut, kata dia, sebagaimana tercermin pada putusan-putusan MK sebelumnya menyangkut pengujian UU yang sama di mana putusan yang terkini yakni putusan Mahkamah nomor 66/PUU-XIX/2021 yang dibacakan pada 24 Februari 2022 lalu.
Baca juga: Ketua DPD Minta Parpol Tak Bikin Gaduh soal Wacana Penundaan Pemilu, Sebut Harus Menahan Diri
Pertama, kata dia, yang memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan JR berkenaan dengan pasal 222 UU (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait PT adalah partai politik.
Kedua, kata dia, partai politik yang memiliki kedudukan hukum bukanlah partai politik yang baru berdiri melainkan partai politik yang sudah pernah mengikuti pemilu dan memperoleh suara.
Ketiga, menurut MK terkait PT tidak bertentangan dengan pasal 6A UUD 1945 atau dinyatakan konstitusional.
Lantas pertanyaannya, berapa persenkah persentase yang konstitusional?
Baca juga: HNW Ingatkan Jokowi untuk Tegas Menolak Penundaan Pemilu 2024
Menurut Mahkamah, kata dia, untuk menentukan besar kecilnya, apakah itu 20%, 2%, 1%, 5%, atau berapapun terserah kepada DPR bersama pemerintah untuk menentukan.
Dengan demikian, kata dia, Mahkamah akan tetap pada pendirian itu kecuali pemohon bisa mengajukan narasi dan konstruksi hukum yang menggugurkan sehingga mahkamah bisa mengubah pendapatnya atau putusannya.
"Atau kalau tidak yang berhubungan dengan besar kecilnya persentase masyarakat bisa datang kepada DPR atau Pemerintah minta supaya calonnya bisa banyak, persentasenya jangan 20% atau perolehan suaranya jangan 25% cukup dibuat 2%. Boleh itu. Tapi tolong mengajukannya ke DPR dan Pemerintah," kata Arief disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa (8/3/2022).
Diberitakan sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tak menerima gugatan presidential threshold dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dimohonkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Joko Yuliantono.
Baca juga: Sejumlah Warga Bandung Ikut Gugat UU Pemilu ke MK
Putusan perkara nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut dibacakan dalam sidang putusan pada Kamis (24/2/2022).
Permohonan Ferry ditolak karena yang bersangkutan dinilai tak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan konstitusi terkait presidential threshold.
Hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon dalam hal ini Ferry berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia, meskipun yang bersangkutan menjabat sebagai Wakil ketua Umum Partai Gerindra, tapi tidak mewakili partai.
Arief menyampaikan bahwa subjek hukum yang punya hak konstitusional untuk mengajukan permohonan a quo adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
"Subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dan oleh karenanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu," kata Arief dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Kamis.
Ketentuan ini lanjutnya, secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Pertimbangan MK soal kedudukan hukum ini lantaran pada Pemilu 2014 pemilih belum mengetahui bahwa hasil pemilihan legislatif akan digunakan sebagai syarat ambang batas untuk mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.
Sehingga, MK kala itu memberi kedudukan hukum bagi pemilih perseorangan.
Namun di Pemilu 2019, pemilih sudah mengetahui hasil pemilihan legislatif dipakai menentukan ambang batas pengusungan capres dan cawapres Pemilu 2024.
Pergeseran tersebut tertuang dalam pertimbangan putusan MK Nomor 74/PUU-XVIII/2020.
"Pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu," katanya.
Pertimbangan ini karena pihak yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan parpol, bukan perseorangan sebagaimana amanat konstitusi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
"Sedangkan gugatan yang dilayangkan perseorangan dianggap punya kerugian hak konstitusional sepanjang bisa membuktikan didukung oleh parpol atau gabungan parpol untuk maju pencapresan, atau menyertakan bukti didukung Parpol untuk mengajukan gugatan bersama," ucapnya.