Kamis, 2 Oktober 2025

Kepala BPOM: Saya Baru Paham Plastik PC Mengandung BPA

Seperti diketahui, peraturan mengenai batas aman atau toleransi BPA dalam kemasan makanan ini sudah ada dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019

TRIBUNNEWS.COM/TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADHAN
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Penny Lukito. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meskipun kemasan plastik berbahan polikarbonat sudah puluhan tahun digunakan secara aman dalam industri makanan minuman di Indonesia dan penggunaannya diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito mengaku baru mengetahui wadah plastik berbahan Policarbonat (PC) berpotensi mengandung bisphenol A (BPA).

Bisphenol A adalah zat kimia sintetis yang biasa digunakan pada berbagai produk dan salah satunya botol atau wadah makanan plastik. Seperti diketahui, peraturan mengenai batas aman atau toleransi BPA dalam kemasan makanan ini sudah ada dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang ditandatangani Kepala BPOM Penny K. Lukito. 

Di sana diatur semua persyaratan migrasi zat kontak pangan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan, tidak hanya BPA saja, tapi juga zat kontak pangan lainnya.

Baca juga: Arzeti Bilbina Ingatkan Pentingnya Label BPA Free di Kemasan Plastik, Kapan Dilakukan BPOM?

Penny juga menyampaikan bahwa BPOM sangat concern berkaitan dengan BPA free ini.

"Kami sudah sampai pada kesimpulan bahwa nanti kami akan melakukan intervensi pada labelingnya. Jadi nanti ada upaya untuk pelabelan dari kemasan-kemasan tersebut, bisa jadi nanti ada label bebas BPA,” ujar Penny dalam pernyataannya, Rabu (9/11/2021).  

Sementara, dalam peraturan BPOM yang dikeluarkan pada tahun 2019 itu dijelaskan bahwa tidak ada kemasan pangan yang free dari zat kontak pangan.  

Tapi, di sana diatur mengenai batas aman maksimum dari zat kontak itu yang diizinkan bermigrasi ke pangannya.  

Penny juga mengatakan pertama yang akan dilakukan BPOM nantinya adalah terkait pemahaman konsumen yang dikaitkan dengan sumber bahan bakunya, apakah jenis ini memang mengandung BPA atau tidak.

Baca juga: Respon Mahasiswa soal Isu Vaksin Novavax Telah Kantongi Izin BPOM

“Karena, saya juga baru paham, belajar bahwa plastik yang PC, yang policarbonat bahwa itulah yang ada potensi mengandung BPA,” ucapnya.  

Sementara itu Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftiono mengatakan bahwa sebenarnya semua produk pangan yang sudah memiliki izin edar sudah diuji keamanannya. 

Artinya, baik produk dan kemasan pangan yang digunakan itu sudah sesuai pedoman dan kriteria yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Perindustrian.  

“Untuk keamanan pangan, itu sudah ada aturannya, yaitu wajib SNI (Standar Nasional Indonesia). Jadi, jika sudah memiliki SNI, produk pangan itu sudah sesuai dengan kriteria aman untuk digunakan oleh konsumen,” ujar Hermawan Seftiono.

Dia mengatakan semua produk pangan itu sudah ada kriteria amannya masing-masing, baik itu secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi.

Jadi, menurutnya, pengusaha pangan harus mengikuti standar keamanan pangan itu terlebih dulu sebelum produk mereka diedarkan.

Begitu juga terkait kemasan yang digunakan, itu berbeda-beda kriteria keamananannya atau batas toleransi amannya.

“Makanya, semua produk pangan itu perlu memiliki sertifikat SNI sehingga aman untuk dikonsumsi,” ujar Kepala Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Trilogi dan peneliti di bidang pangan ini.

Hermawan menjelaskan bahwa semua produk pangan yang sudah memiliki ijin edar itu sebenarnya sudah memiliki label pada kemasannya.

Label itu sudah menunjukkan semua informasi dari produk pangan tersebut, seperti  komposisi produk pangan, nama produknya, tempat produksinya, dan tanggal kedaluwarsanya.  

Apalagi, dia melihat penambahan label baru itu nantinya malah akan menambah biaya bagi industri untuk melakukan pengujian dari kemasan.  

“Pas awal-awal mereka harus mengeluarkan biaya untuk menguji kemasannya, kemudian untuk periode tertentu misalnya setiap 6 bulan atau setahun, mereka juga harus mengujinya lagi  untuk dikonfirmasi aman atau tidak. Itu kan biayanya tidak sedikit,” katanya.

Selain itu, Hermawan juga menyampaikan bahwa tidak ada juga jaminan bahwa penambahan label baru itu nantinya justru malah membuat para konsumen menjadi lebih nyaman terhadap produk pangan tersebut.

“Bisa saja kata-kata yang dibuat pada label itu nantinya malah membuat konsumen menjadi takut menggunakan produk tersebut,” ujarnya.

Senada dengan Hermawan, Pakar Kimia ITB, Ahmad Zainal, juga mengatakan pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk pangan yang sudah memiliki izin edar.

Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman.

Kalau pelabelan itu diberlakukan, menurut Zainal, yang dirugikan justru para konsumen. Karena, pelabelan itu jelas akan menambah biaya.

“Walaupun industri itu nambah biaya, tapi ujungnya itu akan dibebankan lagi kepada para konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti akan ada penolakan nanti dari pihak konsumen sendiri,” ujarnya.(Willy Widianto)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved