Seleksi Kepegawaian di KPK
Koalisi Guru Besar Antikorupsi: KPK Harus Taat Hukum dan Lantik 75 Pegawai
Perwakilan Guru Besar, Prof Azyumardi Azra mengatakan, Ketua KPK Firli Bahuri cs harus melantik 75 pegawai yang tak lulus TWK.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Guru Besar Antikorupsi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mematuhi rekomendasi Ombudsman terkait tes wawasan kebangsaan (TWK).
Perwakilan Guru Besar, Prof Azyumardi Azra mengatakan, Ketua KPK Firli Bahuri cs harus melantik 75 pegawai yang tak lulus TWK.
"Berkenaan dengan temuan Ombudsman atas penyelenggaraan TWK, maka Koalisi Guru Besar Antikorupsi merasa penting untuk menyerukan agar pimpinan KPK segera melantik 75 pegawai menjadi aparatur sipil negara," kata Azyumardi lewat keterangan tertulis, Selasa (27/7/2021).
Ia memaparkan setidaknya ada dua poin yang melandaskan kesimpulan tersebut.
Pertama, disebutkan Azyumardi, selaku aparat penegak hukum, sudah selayaknya KPK taat atas keputusan lembaga negara yang dimandatkan langsung oleh undang-undang untuk memeriksa dugaan maladminstrasi.
Poin ini pun ditegaskan dengan adanya Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Ombudsman yang menyatakan Terlapor (KPK) wajib hukumnya melaksanakan rekomendasi Ombudsman.
Baca juga: Komnas HAM Belum Rampungkan Penyelidikan TWK KPK, Ini Kendalanya
"Jadi, masyarakat tentu tidak berharap KPK menggunakan dalih-dalih lain untuk menghindar dari kewajiban ini," sebutnya.
Kedua, dikatakannya, temuan Ombudsman ini penting untuk ditindaklanjuti di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPK.
Apalagi, lanjut Azyumardi, temuan lembaga-lembaga survei pada sepanjang tahun 2020 sangat miris, KPK yang sediakala selalu mendapatkan apresiasi oleh masyarakat, sekarang justru bertolak belakang.
Anomali ini, menurut pandangan Guru Besar, mesti disikapi secara bijak dan profesional, setidaknya maladministrasi TWK ini dapat menjadi bahan evaluasi mendasar bagi KPK.
"Terlebih selama periode perdebatan TWK, KPK juga terlihat arogan karena mengabaikan instruksi Presiden dan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi, kata Azyumardi.
Terakhir, jika KPK juga enggan untuk melantik 75 pegawai, Guru Besar meminta Presiden Joko Widodo selaku kepala negara mesti bertindak.
Azyumardi menyebut pilihannya ada dua, yaitu Jokowi memerintahkan secara langsung pimpinan KPK atau Jokowi mengambil alih untuk melaksanakan putusan Ombudsman dan melakukan proses pelantikan pegawai KPK.
"Hal ini penting untuk segera menyudahi kegaduhan di tengah situasi pandemi Corona Virus Disease-19. Selain itu, penting pula untuk dicatat, selaku eksekutif tertinggi, baik KPK maupun BKN, wajib hukumnya mengikuti arahan presiden," katanya.
Seperti diketahui, Ombudsman akhirnya mengonfirmasi spekulasi masyarakat selama ini, yaitu penyelenggaraan TWK pegawai KPK terbukti sarat akan permasalahan, mulai dari praktik maladministrasi, penyalahgunaan wewenang, bahkan berpotensi melanggar hukum pidana.
Selain itu, mitra KPK, yakni Badan Kepegawaian Negara (BKN), juga disebut tidak kompeten untuk turut serta sebagai penyelenggara TWK.
Menurut Guru Besar, TWK yang sejatinya melanggar hukum itu tetap saja dipaksakan oleh pimpinan KPK.
Sehingga, hal tersebut mengakibatkan roda kerja KPK, khususnya bagian penindakan, tidak lagi berjalan maksimal.
"Sebab, di antara 75 pegawai nonaktif, terdapat sejumlah penyelidik maupun penyidik yang sedang menangani perkara besar. Misalnya, korupsi bansos, ekspor benih lobster, KTP-Elektronik, skandal pajak, dan perkara-perkara lainnya," kata Guru Besar.
Mirisnya lagi, menurut Guru Besar, TWK pegawai KPK juga terkesan mengkerdilkan makna kebangsaan itu sendiri. Berdasarkan pengakuan dari sejumlah pegawai nonaktif, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan justru melanggar hak asasi manusia.
"Sangat janggal, seluruh pegawai malah ditanyakan tentang kehidupan pribadi, keyakinan, bahkan juga menyasar pada indikasi pelecehan perempuan dan rasis untuk kelompok tertentu. Ini semakin menunjukkan rendahnya kualitas penyelenggara TWK itu sendiri," kata Azyumardi.
Azyumardi mengatakan, temuan Ombudsman itu sebenarnya tidak mengejutkan banyak pihak lagi. Beberapa waktu terakhir, terutama sejak perubahan UU KPK dan pergantian Pimpinan KPK, lembaga antirasuah itu memang kerap menimbulkan kontroversi dan memperlihatkan penurunan performa dibandingkan dengan periode sebelumnya.
"Poin ini pun dapat merujuk pada rendahnya tangkap tangan sepanjang tahun 2020, ketidakberdayaan meringkus buronan, penghentian penyidikan perkara besar, hingga terlalu banyak memperlihatkan gimik politik. Melihat hal ini, menjadi wajar jika performa Indonesia dalam indeks persepsi korupsi merosot tajam berdasarkan temuan Transparency International," katanya.