Anggota Komite I DPD RI Tegas Menolak Pasal Penghinaan Lembaga Negara RUU KUHP, Beri 3 Argumentasi
Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha dengan tegas memberikan penolakan terhadap adanya Pasal Penghinaan Lembaga Negara RUU KUHP.
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha dengan tegas memberikan penolakan terhadap adanya Pasal Penghinaan Lembaga Negara RUU KUHP.
Abdul Rachman pun memberikan tiga argumentasinya.
Mengapa ia menolak Pasal Penghinaan Lembaga Negara dalam RUU KUHP.
Hukum Tidak Boleh Memukul Rata
Argumentasi pertama diutarakan Abdul Rachman dengan membuat dua contoh kondisi orang yang berbeda, sebut saja A dan B.
A dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap presiden, begitu pula dengan B.
Baca juga: Politikus Gerindra Usul Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP Jadi Pasal Perdata
Namun karena ada unsur kesengajaan maka terdapat intent di dalam perbuatan mereka.
Polisi dan jaksa harus buktikan keberadaan intent itu, tapi tidak cukup sampai di situ.
Kedua lembaga tersebut juga harus buktikan motive.
Setelah dilakukan pendalaman, ternyata A menghina presiden sebagai bentuk kekesalannya atas kegagalan presiden dalam memimpin negara.
Baca juga: Ada Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP, Ini Penjelasan Menkumham
Penghinaan yang dilakukan A dianggap sebagai kecaman keras agar kondisi negara bisa berlangsung lebih baik.
Sementara B menghina presiden sebagai pelampiasan karena ia diceraikan oleh suaminya yang merupakan pendukung presiden.
Penghinaan dilakukannya semata-mata untuk melegakan hati.
Abdul Rachman pun menyimpulkan jika dari kedua contoh tersebut bisa disimpulkan.
Baca juga: Raker dengan Komisi III, Menkumham Sebut RUU KUHP Direspon Positif Masyarakat
Bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama, namun motive antarmanusia bisa berbeda.
Abdul Rachman pun menegaskan bahwa hukum tidak boleh memukul rata.
"Dari contoh itu bisa dilihat bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama, namun motive antarmanusia bisa berbeda."
"Hukum, sekali lagi, tidak boleh memukul rata," kata Abdul Rachman dalam keterangannya keppada Tribunnews.com, Rabu (9/6/2021).
Baca juga: PSI Tolak Pasal Penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU KUHP
Semua Pihak di Hadapan Hukum Sama
Menurut argumentasi kedua Abdul Rachman, semua pihak di hadapan hukum memiliki kedudukan yang sama.
Jika menggunakan azas tersebut, ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, seharusnya ketika pejabat negara juga bisa pidana.
Apabila melakukan penghinaan terhadap warganya.
"Ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, apakah pejabat lembaga negara juga bisa dipidana. Ketika misalnya melakukan penghinaan terhadap warganya," ungkapnya.
Baca juga: Wamenkumham: Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dalam Draf RUU KUHP Beda dengan yang Dicabut MK
"Bayangkan pejabat yang saking emosionalnya sampai mengeluarkan hinaan terhadap warga?" tegas Abdul Rachman.
Lebih lanjut anggota Komite I DPD RI ini menuturkan jika tidak berlaku dua arah, maka sama saja azas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan.
Selain itu, hal tersebut bukanlah konstruksi hukum yang benar.
"Jika tidak berlaku dua arah, maka azas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan. Pasti, ini bukan konstruksi hukum yang benar," terangnya.
Baca juga: Soal Pasal 281 RKUHP, PWI Akan Minta ke Pemerintah Berikan Pengecualian Peraturan untuk Pers
Khawatir Instrumen Hukum Digunakan sebagai Alat Pengaman Diri
Argumentasi ketiga menurut Abdul Rachman, apabila mediasi hanya dikenakan pada konflik antar anggota masyarakat.
Namun otoritas penegakan hukum mengalami kecanggungan (bahkan meniadakan) untuk memediasi lembaga negara dan masyarakat.
Maka dikhawatirkan instrumen hukum tersebut bisa diadakan sebagai alat pengaman diri oleh pemegang kekuasaan.
"Ketika sesama anggota masyarakat bertikai dan menghina satu sama lain, otoritas penegakan hukum acap melakukan mediasi antarkeduanya. "
"Nah, bagaimana ketika penghinaan itu dilakukan masyarakat terhadap lembaga negara? Akankah otoritas penegakan hukum juga memediasi keduanya?"
"Adakah kesanggupan dari otoritas terkait untuk menjadi mediator ketika pihak pelapor adalah mitranya sendiri sebagai sesama lembaga negara?" pungkasnya.
Baca juga: YLBHI: RUU KUHP Baru Berpotensi Tindakan Merekam Persidangan Dilarang Hakim
Isi Pasal
Perlu diketahui, draf RUU KUHP terbaru telah menerangkan. Adanya pasal penghinaan terhadap lembaga negara.
Berikut isi dari Pasal Penghinaan Lembaga Negara, yang terkandung dalam pasal 353 dan 354 di dalam KUHP yang dikutip dari Hukum Online.com.
Pasal 353:
(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyakkategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Pasal 354:
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.
Dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani)