Kamis, 2 Oktober 2025

Marak Kasus Penghinaan Berujung Minta Maaf dengan Meterai, Pengamat: Bukti Lemahnya Penegakan Hukum

Maraknya kasus dugaan penghinaan kepada aparat keamanan berujung permintaan maaf melalui surat bermeterai mendapat sorotan.

dok. Kemenkeu
Tampilan meterai baru Rp 10.000 

TRIBUNNEWS.COM - Maraknya kasus dugaan penghinaan berujung permintaan maaf melalui surat bermeterai, mendapat sorotan.

Pengamat hukum sekaligus Wakil Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rumah Bersama Advokat (RBA), Azas Tigor Nainggolan, menilai hal itu wujud lemahnya penegakan hukum.

Tigor menceritakan, sejak berprofesi sebagai seorang advokat tahun 1989, di dompetnya selalu tersedia meterai.

Meterai tersebut digunakan jika ada warga atau klien yang perlu didampingi pemeriksaan di kepolisian atau kejaksaan secara mendadak atau juga ingin membuat perjanjian hukum.

Selain itu, meterai biasa digunakan jika ada mahasiswa atau aktivis yang ditangkap karena melakukan aksi dan membutuhkan advokat sebagai kuasa hukum di polisi.

Baca juga: Maki Petugas di Pos Penyekatan Ciwandan, Wanita Ini Minta Maaf, Saya Sangat Menyesal

Namun Tigor menilai, ada perubahan fungsi meterai saat ini.

"Saat ini salah satu fungsi meterai yang sedang populer adalah untuk membuat pernyataan minta maaf," ungkap Tigor kepada Tribunnews.com, Selasa (18/5/2021).

Azas Tigor Nainggolan).
Azas Tigor Nainggolan). (KOMPAS.COM/WALDA MARISON)

Saat ini, lanjut Tigor, aparat hukum cukup aktif merespons pengaduan masyarakat terkait perbuatan radikal, penghinaan, atau perbuatan melawan aparat hukum.

"Penggunaan meterai untuk minta maaf ini bisa menjadi indikator responsif aparat penegak hukum terhadap pengaduan masyarakat terkait kasus radikalisme atau perbuatan penghinaan atau melawan petugas."

"Saat ini banyak sekali kita saksikan di media elektronik atau di sosial media banyak orang pelanggar pidana penghinaan, melawan aparat atau pidana elektronik."

"Bahkan sekarang banyak yang memaki petugas yang sedang bertugas di lapangan, mudah saja minta maaf dengan menulis surat dan menggunakan meterai," ungkapnya.

Baca juga: Sikap Briptu Febio saat Dimaki Penumpang Mobil Curi Perhatian, Tak Disangka Begini Reaksi Keluarga

Mudahnya menyelesaikan penghinaan terhadap petugas dengan surat permintaan maaf bermeterai dinilai menghancurkan wibawa hukum dan pemerintah.

"Kasihan petugas di lapangan dimaki, dicerca dan dihina oleh pelaku pelanggar hukum. Selesai dengan minta maaf dan meterai Rp 10.000. Hancur wibawa hukum dan pemerintah," ungkapnya.

Viral di Media Sosial

Tigor juga menyoroti banyaknya video yang beredar di media sosial, perbuatan memaki petugas lapangan di penyekatan larangan mudik.

"Setelah beredar videonya dan langsung si pelaku minta maaf, membuat surat pernyataan minta maaf di atas meterai."

"Nah mudahnya orang pelaku pidana dan minta maaf hanya dengan menggunakan surat minta maaf di atas meterai ini juga bisa jadi indikator penegakan hukum," ungkap Tigor.

Wanita bernama Tuti Rohmawati yang viral karena maki-maki petugas Pos Penyekatan Ciwadan, Cilegon karena diputar balik (TribunBanten.com/Mildaniati)
Wanita bernama Tuti Rohmawati yang viral karena maki-maki petugas Pos Penyekatan Ciwadan, Cilegon karena diputar balik (TribunBanten.com/Mildaniati) ((TribunBanten.com/Mildaniati))

Baca juga: Viral Pemudik Maki Petugas, Legislator Golkar: Hargai Polisi, Mereka Juga Rindu Keluarga

Padahal, menurut Tigor, dalam kasus pidana tidak ada penyelesaian secara hukum dengan minta maaf.

"Jika memang si pelaku jelas tertangkap tangan melakukan pidana, maka seharusnya aparat melakukan proses hukum secara tegas."

"Tindakan proses hukum secara tegas ini harus dilakukan agar ada efek jera bagi masyarakat dan tidak merendahkan kualitas penegakan hukum di Indonesia," ungkapnya.

Tigor menilai penegakan hukum jauh lebih penting dari pada pendapatan negara dari pembelian penggunaan meterai.

Setidaknya, harus ada sanksi riil bagi pelaku penghinaan petugas.

"Harusnya para pelaku itu dihukum sanksi sosial menyapu di jalan raya atau bersihkan WC penjara."

"Wong nggak pake masker aja denda Rp 250 ribu atau kerja sosial sapu jalan," ungkap Tigor.

Briptu Febio Marcelino (kiri) yang dimaki-maki pria dan wanita di Pos Penyekatan Benda, Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia menerima permintaan maaf kedua pelaku.
Briptu Febio Marcelino (kiri) yang dimaki-maki pria dan wanita di Pos Penyekatan Benda, Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia menerima permintaan maaf kedua pelaku. (Tribun Jabar)

Diketahui sebelumnya, media sosial diramaikan dengan sejumlah aksi penghinaan yang dialami petugas lantaran tidak mau diminta putar balik saat penyekatan mudik.

Berita terkait Nasional-Hukum lainnya

(Tribunnews.com/Gilang Putranto)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved