Minggu, 5 Oktober 2025

World Kidney Day 2021, KPCDI: Mendamba Hadirnya Negara untuk Pasien Gagal Ginjal Kronik di Indonesia

Peringatan World Kidney Day (WKD) atau Hari Ginjal Sedunia yang jatuh setiap tanggal 11 Maret memiliki makna tersendiri untuk KPCDI.

Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Tiara Shelavie
Dok. KPCDI
Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir (kanan) bersama Sekretaris Jenderal KPCDI, Petrus Hariyanto (kiri) saat menghadiri acara World Kidney Day 2019 di Lampung 

"Sering permasalahan itu muncul dan dari diri pasien yang melakukan advokasi atau melaporkan situasi yang dihadapi pasien saat mereka berobat," urainya.

Khusus di masa pandemi Covid-19 juga banyak permasalahan yang jamak ditemui. Pada masa awal kondisi pandemi, dimana hanya beberapa rumah sakit yang mempunyai fasilitas isolasi khusus sekaligus memiliki fasilitas hemodialisa.

Akibatnya berdasarkan catatan KPCDI banyak pasien cuci darah meninggal karena kurang meratanya fasilitas khusus tersebut.

"Tragisnya mereka meninggal bukan karena covid, karena tes swabnya negatif, tetapi mereka meninggal karena tidak mendapat layanan hemodialisa," tegasnya. "Saya pikir sampai detik ini minimnya fasilitas itu masih dijumpai. Walaupun sudah meningkat tapi tidak sebanding dengan jumlah kasus yang ada."

Pun, seiring melonjaknya pasien gagal ginjal kronik, Petrus menilai sudah saatnya Indonesia memiliki sebuah lembaga donor organ. Sebagaimana diketahui seseorang pasien penyakit ginjal kronik bisa hidup lebih baik dan normal setelah mendapatkan transplantasi ginjal.

Praktiknya sampai hari ini di Indonesia, pemerintah selalu melempar proses transplantasi tersebut kepada pasien.

Pasien harus bersusah payah mencari donor untuk transplantasi ginjal ke anggota keluarganya. Jika tidak mendapatkannya, pasien tersebut harus menjalani proses cuci darah yang entah kapan selesainya. Bahkan jika ada orang baik di Indonesia ingin mendonorkan organ tubuhnya secara sukarela, mereka tidak tahu harus kemana.

Agar tidak terjadi penyelewengan, menurut Petrus, pemerintah harus membuat payung hukum yang jelas bagi lembaga donor organ tersebut.

Hal itu demi menghindari praktik jual beli organ yang dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru pada saat proses perjalanannya.

"UU Kesehatan hanya beberapa pasal yang menyangkut itu dan tidak menyangkut tentang bagaimana masyarakat yang terkena gagal ginjal bisa dengan mudah mengurus transplantasi ginjal yang dilayani oleh negara," kata Petrus.

Sementara itu, terkait larangan jual beli organ sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 64 ayat 3 UU No. 36 tentang Kesehatan Tahun 2009 berbunyi 'Organ atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun'.

Baca juga: MA Tolak Gugatan Perpres 64/2020, KPCDI Tagih Janji DPR

Dan diperkuat dengan Pasal 192 yang mengatur tentang ancaman pidana yang berbunyi, 'Setiap orang yang artinya siapa saja yang dengan sengaja memperjualbelikan anggota tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud Pasal 64 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar’.

Perus menilai, membuat lembaga donor organ adalah sebuah terobosan yang seharusnya dilakukan negara.

Para ahli bahkan menilai proses transplantasi ginjal sangat direkomendasikan sebagai terapi yang lebih baik dibandingkan Renal Replacement Therapy (RRT) lainnya karena kualitas hidup pasien gagal ginjal akan jauh lebih baik dan membuat pembiayaan pengobatan semakin efektif dan efisien.

Data BPJS Kesehatan per tahun 2020 memperlihatkan bahwa untuk satu kali tindakan transplantasi ginjal untuk satu orang adalah Rp341 juta.

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved