Penjelasan Effendi Gazali Setelah Diperiksa KPK Terkait Kasus Edhy Prabowo
Mantan penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan itu diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster atau benur.
"Saya nggak yakin karena baru 1 sampai 2 bulan berjalan, minta izin tapi dibilang udah sukses restocking, budidaya, tapi saya nggak yakin. Budidaya nggak seperti ini, tapi dari dirjen dan direkturnya ada segmentasi dalam buddiaya, tapi menurut saya nggak valid," jelas dia.
Tapi saat itu Menteri KP Edhy Prabowo memerintahkan dirinya untuk tetap menyetujui pengajuan surat kelima perusahaan tersebut.
Lewat sambungan telepon, Edhy Prabowo beralasan khawatir barang ekspor dari perusahaan - perusahaan itu sudah di bandara.
Jika tak segera disetujui, Edhy Prabowo takut dipermasalahkan karena membuat perusahaan itu merugi.
Setelah mengikuti perintah Edhy Prabowo, satu pekan setelah dokumen kelima perusahaan terbit, Zulficar memutuskan mundur dari jabatan Dirjen Tangkap KKP karena masih menilai ada kejanggalan atas proses administrasi itu.
"Lalu Pak Menteri telepon saya, 'Pak Fickar diloloskan saja perusahaan tersebut, khawatir barangnya sudah di bandara, kalau gagal surat tidak keluar bisa-bisa barangnya rugi, kita bermasalah, itu kata pak menteri'. Saya bilang 'baik saya cek lagi, administratif sudah lengkap semua'," kata Zulfikar.
"Akhirnya saya tanda tangani 5 dokumen tersebut, dan minggu depannya saya ajukan pengunduran diri," sambung dia.
Selain kejanggalan tersebut, alasan dirinya mundur juga berkaca dari Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 yang dinilai berpotensi membuka ruang pidana korupsi di lingkungan KKP khususnya terkait izin ekspor benur.
"Saya khawatir komitmen anti korupsi identitas ini perlu diingatkan, sehingga saya mengundurkan diri," pungkasnya.
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Suharjito didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada Edhy.
Suap diberikan melalui perantaraan Safri dan Andreau Misanta selaku staf khusus Edhy, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy yang juga anggota DPR RI Iis Rosita dan Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sekaligus pendiri PT Aero Citra Kargo (ACK).