OTT Menteri KKP
KPK Didorong Usut Hingga Tuntas Kasus Suap Ekspor Benur
(KPK) diminta menelusuri aliran dana suap ratusan miliar rupiah yang diberikan eksportir kepada eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo demi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menelusuri aliran dana suap ratusan miliar rupiah yang diberikan eksportir kepada eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo demi mendapatkan surat rekomendasi izin ekspor.
Penelusuran lebih lanjut dirasa penting agar perkara itu menjadi tuntas.
Dalam surat dakwaan terhadap Direktur PT Dua Putera Perkasa, Suharjito di situ jelas terbaca bagaimana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster yang dipimpin stafsus Edhy, Andreau Misanta Pribadi meminta duit Rp5 miliar kepada Suharjito untuk mendapatkan surat rekomendasi ekspor.
Berdasarkan catatan Indonesia Budget Center(IBC) pada tanggal 14 Mei 2020 diterbitkan Keputusan Menteri KP-RI No. 53/KEPMEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Benih Lobster (Panurilus spp) dengan menunjuk Andreau Misanta Pribadi selaku Ketua dan Safri Muis selaku Wakil Ketua.
Peran tim due diligence dalam pemberian surat rekomendasi adalah memeriksa kelengkapan dan validitas dokumen yang diajukan calon eksportir budidaya benih lobster yang akan melaksanakan kegiatan pembudidayaan benih lobster di dalam negeri, serta melakukan wawancara dan melihat kelayakan usaha calon eksportir.
Selain itu, tim due diligence juga memiliki tugas untuk memberikan rekomendasi proposal usaha yang memenuhi persyaratan untuk melakukan usaha budidaya lobster.
“Jadi peran para stafsus Edhy itu sangat vital dalam kasus ini.” ujar Ketua Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam dalam pernyataannya, Kamis (25/2/2021).
Baca juga: Pembelian Jam Tangan Mewah Istri Edhy Prabowo di Amerika Didalami KPK
Menurut Nur Alam, fakta adanya suap dalam jumlah besar harus ditelusuri.
“Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui informasi mendalam terkait keterlibatan para eksportir yang terlibat dalam kasus suap ini. Penting juga dicari tahu uang sebesar itu untuk apa saja?” kata Arif.
Edhy Prabowo sebagai menteri diketahui memberikan sejumlah syarat yang harus dipatuhi para calon eksportir untuk mendapatkan izin kegiatan melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Indonesia.
Dalam surat dakwaan terhadap tersangka, disebutkan bahwa ada salah satu poin dimana untuk mendapatkan surat rekomendasi tersebut, pihak eksportir diharuskan memberi uang komitmen senilai Rp5 miliar, yang dapat dibayarkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan perusahaan, kepada Menteri Edhy Prabowo melalui Safri Muis selaku staf khusus Menteri KKP.
Perintah stafsus ini membuat para eksportir tidak bisa berkutik.
Setelah tersangka Suharjito menyanggupi dan membayar sebagian, maka surat rekomendasi izin ekspor berupa Surat penetapan calon eksportir benih bening lobster itu akhirnya terbit di bulan Juli 2020.
Terkait kasus ini, ada 61 perusahaan yang sudah mendapatkan surat rekomendasi dan hingga OTT terjadi, 41 perusahaan diantaranya telah melaksanakan ekspor BBL melalui jalur resmi dengan menyetorkan uang senilai Rp5 miliar tersebut. Jika benar setiap eksportir harus memberi suap untuk mendapatkan ijin,dari KKP, maka KPK harus memeriksa seluruh eksportir.
Kasus ini sama seperti kasus korupsi bansos. Banyak yang diduga terlibat namun belum semua dipanggil dan diperiksa KPK. Misalnya Ihsan Yunus yang disebut-sebut menjadi kunci empat vendor dengan nilai kontrak hampir dua trilyun rupiah.
Kasus yang sudah terbuka ini, menurut Arif, harus dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk membongkar bisnis ekspor ilegal yang selama ini terjadi. IBC menemukan di luar ACK ada perusahaan lain yang disinyalir juga mengekspor lobster.
Salah satunya PT Grahafoods Indo Pasifik yang merupakan ketua asosiasi eksportir dan banyak berbicara kepada media massa usai Operasi Tangkap Tangan(OTT) KPK rupanya bisa mengekspor melalui jalur yang telah ditetapkan Kementerian KKP dan disetujui pihak Bea Cukai.
Perusahaan ini bersama sejumlah perusahaan lain bahkan bisa kembali mengekspor ketika keran izin ekspor dari KPK ditutup usai OTT KPK. Upaya ekspor menggunakan jalur yang telah ditetapkan juga direstui Bea Cukai.
"Masyarakat dibuat bingung tentang bagaimana sebenarnya tata kelola ekspor lobster. Karena kalau ini tidak dikelola dengan baik, selain komunitas nelayan kecil sangat dirugikan secara ekonomi, dampak lingkungannya sangat besar bagi Indonesia,” ujar Arif.
Menurut dia jika satu perusahaan diduga berani menyuap Rp5 miliar untuk terdaftar sebagai pengekspor menandakan bisnis ini sangat menguntungkan. Untuk itu, patut diduga bisnis lobster ini melibatkan banyak pihak yang kewenangannya terkait.
"KPK harus lebih berani mendalami pasar gelap ekspor lobster ini, karena patut diduga adanya manipulasi dan mark down (pengecilan kuantitas barang ekspor untuk mengurangi pajak) yang mengakibatkan pajak yang seharusnya diterima negara menjadi lebih kecil. Ini pasti melibatkan sejumlah oknum pemerintah dalam kasus ini," tutup Arif.(Willy Widianto)