POPULER NASIONAL: Fakta Meninggalnya Fedrik Adhar | Kisah Ngatimin yang Pernah Memata-matai Belanda
Berikut berita populer nasional selama 24 jam terakhir, dari fakta meninggalnya Fedrik Adhar hingga kisah Ngatimin yang memata-matai Belanda.
TRIBUNNEWS.COM - Berikut berita populer nasional selama 24 jam terakhir.
Jaksa di persidangan kasus penyiraman Novel Baswedan, Fedrik Adhar, meninggal dunia pada Senin (17/8/2020).
Ada pula kisah Ngatimin, mata-mata tentara Indonesia, yang pernah mengintai Belanda.
Berikut daftar lengkap berita populer nasional, dirangkum Tribunnews.com :
1. 5 Fakta Meninggalnya Fedrik Adhar, Jaksa di Sidang Novel Baswedan: Disebut Akibat Covid-19

Jaksa Fedrik Adhar dikabarkan meninggal dunia pada Senin (17/8/2020) di RS Pondok Indah, Bintaro, Jakarta, pukul 11.00 WIB.
Diketahui, Jaksa Fedrik Adhar meninggal pada usia 38 tahun.
Fedrik Adhar adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Nama Fedrik Adhar sempat menjadi sorotan karena menuntut dua terdakwa saat sidang kasus Novel Baswedan dengan hukuman satu tahun penjara.
Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin mengatakan, Fedrik Adhar tutup usia setelah terpapar Covid-19.
Baca: POPULER Al Ghazali Nyaris Jadi Korban Pelecehan Seksual | Fakta Isu Pernikahan Nella & Dory
2. Profil Kolonel Inf M Imam Gogor, Komandan Upacara HUT 75 RI di Istana, Suka Nasi Putih dan Kecap

Berikut profil Kolonel Inf Muhammaf Imam Gogor, Komandan Upacara HUT ke-75 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Senin, (17/8/2020).
Kolonel Inf M Imam Gogor terpilih sebagai Komandan Upacara HUT ke-75 RI.
Ia menyisihkan tiga kandidat lainnya.
Lantas siapakah Kolonel Inf M Imam Gogor?
3. Budiman: Trisila dan Ekasila dalam RUU HIP Bukan dari PDI Perjuangan

Politikus PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, memastikan bukan partainya yang memasukkan poin Ekasila dan Trisila ke dalam draft Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Awalnya, kata aktivis '98 itu, RUU HIP hanya dimaksudkan untuk membicarakan posisi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah, kata Budiman, juga telah berulang kali menegaskan hal itu.
"Bukan PDI Perjuangan. Wakil Ketua MPR, Pak Ahmad Basarah berkali-kali mengatakan, sebenarnya dari PDI Perjuangan dalam posisi untuk bicara soal BPIP. Nggak masuk ke sana (Trisila dan Ekasila-red)," tegas mantan anggota DPR RI ini dalam acara Aiman Ring Satu di Kompas TV, Senin (17/8/2020).
"Kita bicara soal pengorganisasian dan sosialisasi Pancasila. Tidak membongkar-bongkar atau tidak meluaskannya menjadi soal-soal lebih substantif," jelas Budiman.
Budiman menegaskan kembali, usulan Trisila dan Ekasila bukan berasal dari PDI Perjuangan.
Tapi itu datang dari partai tertentu.
Baca: Jadwal Penukaran Uang Edisi Khusus Rp 75.000 Hingga 3 September Sudah Penuh
4. Mengenal Suku Tidung, Suku Asli di Kalimantan Utara di Pecahan Rp 75.000, Netizen Kira Adat China

Uang pecahan Rp 75.000 yang baru diluncurkan Bank Indonesia masih saja jadi pembicaraan warganet.
Rupanya, dalam uang pecahan yang diluncurkan bertepatan dengan peringatan HUT Ke-75 Republik Indonesia tersebut ada foto pria berpakaian adat yang oleh sebagian netizen dianggap pakaian China (Tionghoa).
"Nah coba tebak adat daerah mana yg dalam lingkaran biru," tulis seorang netizen dalam grup whatsapp yang kemudian viral.
Dia menyodorkan uang pecahan yang diluncurkan bertepatan HUT Kemerdekaan RI tersebut,
Ternyata, foto pria berpakaian adat di dalam uang pecahan Rp 75.000 yang dihebohkan netizen tersebut adalah pria berpakaian adat Suku Tidung.
5. Kisah Ngatimin Pura-pura Jadi Anak tidak Normal yang Memata-matai Belanda: Saya Marah Bapak Ditembak

Ingatan saat sang ayah ditembak mati tentara Belanda kala tengah menggandeng dirinya dan sang adik masih terekam jelas dalam ingatan Ngatimin.
Mereka saat itu tengah berlari di jalanan kampung halamannya, Desa Paulan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar untuk mencari tempat persembunyian.
Pasalnya, ayahnya tengah diburu tentara dan antek Belanda karena dianggap pejuang.
Ayah Ngatimin langsung tersungkur dan meninggalkannya dan sang adik sendirian di tengah jalanan kampung.
Begitulah memoar kematian sang ayah yang masih terpatri dalam ingatan Ngatimin Citro Wiyono (87), seorang pejuang.
Nadanya begitu emosional dan meninggi tatkala menceritakan kematian sang ayah saat Agresi Militer II tahun 1948.
Ayah Ngatimin muda dicap penjuang lantaran sering membantu membangun parit perangkap tank di jalan-jalan kampung.
Terlebih lagi, kediaman Ngatimin tak jauh dari pangkalan udara tentara belanda 'Panasan' atau yang kini dikenal dengan Landasan Udara (Lanud) Adi Soemarmo.
(Tribunnews.com)