Minggu, 5 Oktober 2025

Virus Corona

Perppu Covid-19 Dinilai Ikut Mengebiri UU Desa

Berlakunya UU itu dinilai menjadi omnibus law yang mengebiri sejumlah UU. Salah satunya UU Nomor 6/2014 tentang Desa.

Editor: Hasanudin Aco
KOMPAS/WAHYU PUTRO A
Ilustrasi sidang MK. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Covid-19 menjadi objek gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Berlakunya UU itu dinilai menjadi omnibus law yang mengebiri sejumlah UU.

Salah satunya UU Nomor 6/2014 tentang Desa.

Berlakunya UU 2/2020 akan menghilangkan sebagian hak perangkat desa.

Itu seiring tidak berlakunya pasal 72 ayat (2) UU Nomor 6/2014 tentang Desa yang diantaranya mengatur tentang Dana Desa sebagai bagian dari sumber pendapatan desa dari APBN.

"Undang-undang yang masuk ke dalam UU (Corona) itu dianggap tidak berlaku, bakal menghilangkan (hak keuangan ) perangkat desa dan Kepala Desa ," kata pakar hukum Ahmad Yani, Minggu (28/6/2020).

Baca: Permohonan Perppu Corona Tak Diterima MK, Ini Penjelasannya

Perangkat desa itu terdiri dari kepala desa, sekretaris, bendahara dan pegawai desa lainnya tidak terkecuali semua yang selama ini menerima honor dari Dana Desa.

Diantaranya guru TKA/PAUD/TPQ, PPKBD sub PPKB, kader posyandu. Selama ini perangkat desa, sebagaimana PP 11/2019 penghasilan perangkat adalah 30 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Dan salah satu sumber keuangan APBDes adalah Dana Desa (50-60 persen).

Berhentinya pembangunan di desa dan hilangnya sebagian hak perangkat desa itu merupakan implikasi dari pasal 28 ayat (8) UU Corona.

Dalam pasal itu menyebutkan pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya di UU Desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Ahmad Yani menjelaskan pasal 28 itu menjadi semacam omnibus law yang membatalkan bermacam-macam UU. Salah satunya UU Desa. Dengan berlakunya pasal "Dewa Maut" itu, UU yang lain menjadi tidak eksis lagi.

"Pasal 28 (UU Corona) ini menjadi omnibus law dalam bentuk lain. Ada 12 yang masuk ke dalam UU (Corona) itu dianggap tidak berlaku," papar mantan anggota DPR tersebut.

Ahmad Yani yang juga kuasa hukum pemohon ini menyebut saat ini banyak pihak yang mengajukan JR terhadap UU Corona itu. Termasuk dirinya. Selain menggugat pasal 28 UU Corona, ada dua pasal lain yang dia gugat.

Yakni, pasal 2 dan pasal 27. Ada pula pemohon dari unsur kepala desa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara yang mengajukan JR atas pasal 28 ayat (8).

"Kami anggap pengesahannya (UU Corona) bertentangan dengan konstitusi," jelasnya.

Menurut Yani, dalam permohonan JR kali ini pihaknya menggugat secara formil dan materil.

Dari segi formil, Yani dkk menilai pengesahan UU Corona yang bertentangan dengan konstitusi.

Misalnya, tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pembahasan yang menyangkut dana perimbangan pusat untuk daerah.

"Seharusnya DPD terlibat dalam pengesahannya (UU Corona) itu. Ini sama sekali menafikan peran DPD," jelasnya.

Sementara dari sisi materil, Yani menyebut sejumlah pasal yang digugat itu menabrak kewenangan lembaga lain.

Misal di pasal 27, membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan audit. Pasal 27 itu juga membuat lembaga peradilan tidak punya taring.

"Padahal sekarang ini sudah banyak betul permasalahannya kan. Tidak bisa diaudit, tidak bisa dipidana," imbuh dia.

Gelar sidang

Sidang perkara ini digelar MK pekan lalu.

Ahmad Yani menyoroti, timeline dari pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Menurut dia, pengajuan Perppu dan Pengesahan Perppu menjadi UU tidak dapat dilakukan dalam masa sidang DPR yang sama.

"Kami berpendapat bahwa Perppu ini sesungguhnya belum waktunya untuk forum DPR memberikan persetujuan maupun forum penolakan karena masa sidang berikutnya," kata Ahmad Yani dalam sidang, Rabu (20/5/2020).

Lebih lanjut dia bilang, jika merujuk pada pasal 22 ayat (1) UUD 1945, memang menyatakan dalam ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu.

Akan tetapi, pasal 22 ayat (2) menyatakan dengan tegas, rigid, tanpa interpretasi, dan tanpa multi tafsir bahwa Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikutnya.

Seperti diketahui, Perppu 1/2020 ditandatangani Presiden pada tanggal 31 Maret dan diserahkan kepada DPR pada awal April 2020.

Kemudian, Perppu disahkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020 pada 12 Mei 2020. Padahal, masa sidang 3 DPR tahun 2019-2020 berlangsung pada 29 Maret 2020 hingga 12 Mei 2020.

"Karena Perppu ini dikeluarkan presiden pada masa sidang 3 dan disahkan pada masa sidang 3, maka kami berpendapat bahwa Perppu ini sesungguhnya belum waktunya untuk forum DPR memberikan persetujuan maupun forum penolakan karena pada masa sidang berikutnya. Artinya pada masa sidang berikutnya, pada masa sidang 4," jelas dia.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menjadi salah satu perwakilan presiden dalam sidang itu menjelaskan, persetujuan DPR dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU.

Baca: Desa Jadi Tulang Punggung Ekonomi Saat Krisis Imbas Pandemi

Menkeu bilang, DPR telah memberikan persetujuan untuk menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR ke 15 Masa Sidang 3 Tahun 2019-2020, pada Selasa 12 Mei 2020.

"Dan pemerintah telah mengesahkan persetujuan DPR tersebut melalui UU Nomor 2 tahun 2020," terang Sri Mulyani.

Perpu ini digugat ke MK oleh Amien Rais.

Ada pula tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono yang menjadi pemohon uji materi.

Sumber: Tribunnews.com/Kontan.co.id

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved