Jumat, 3 Oktober 2025

Imam Nahrawi Diadili

Kuasa Hukum Eks Menpora Imam Nahrawi: Tuntutan JPU Tak Sesuai Fakta Sidang

Suap bertujuan untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Kemenpora untuk KONI tahun kegiatan 2018.

Tribunnews/Irwan Rismawan
Terdakwa mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi menjalani sidang tuntutan yang disiarkan secara live streaming di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (12/6/2020). Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Imam Nahrawi dengan hukuman 10 tahun penjara dalam kasus suap senilai Rp 11,5 miliar dan gratifikasi Rp 8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Tribunnews/Irwan Rismawan 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa Hukum eks Menpora Imam Nahrawi, Wa Ode Nur Zainab, mengatakan bahwa tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak sesuai fakta persidangan.

"Hal-hal yang disampaikan JPU justru tidak sesuai fakta persidangan yang kemudian menjadi fakta hukum. Semua saksi menyatakan tidak pernah mendengar ada permintaan dari Pak Imam Nahrawi," kata Wa Ode Nur Zainab saat dihubungi, Minggu (14/6/2020).

Diketahui, saat membacakan tuntutan, Jaksa KPK membeberkan bahwa Imam Nahrawi terbukti menerima uang sebesar Rp11,5 miliar.

Baca: Harta Benda Imam Nahrawi Disita Jika Tak Membayar Uang Pengganti Rp 19 Miliar

Suap tersebut diberikan oleh Ending Fuad Hamidy selaku Sekretaris Jenderal KONI dan Jhonny F Awuy selaku Bendahara Umum KONI.

Suap bertujuan untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Kemenpora untuk KONI tahun kegiatan 2018.

Sementara dalam perkara gratifikasi, Imam Nahrawi dinilai terbukti menerima dana sebesar Rp8.648.435.682 selama kurun 2015-2018 yang berasal dari sejumlah pihak.

Baca: Dituntut Pidana 10 Tahun, eks Menpora Imam Nahrawi Ajukan Pembelaan

Dalam dakwaan, disebutkan uang tersebut digunakan untuk berbagai keperluan seperti biaya menonton F1 hingga membayar tunggakan kredit, perjalanan ke Melbourne Australia, dan membayar baju.

Jaksa KPK juga menyatakan bahwa terungkap fakta-fakta dari keterangan para saksi dalam persidangan terkait adanya permintaan dari Miftahul Ulum yang mengatasnamakan terdakwa yaitu ketika Gatot Dewa Broto dan Lina Nurhasanah menghadap terdakwa untuk menyampaikan adanya temuan BPK untuk tahun anggaran 2016 sekitar Rp11,5 miliar.

Lina Nurhasanah menyampaikan kepada terdakwa dari temuan BPK sejumlah Rp6.948.000.000 miliar, dipergunakan untuk mendukung kegiatan operasional terdakwa.

Rp4.408.000.000 untuk tambahan operasional perjalan dinas dan sejumlah Rp2.000.000.000 miliar untuk keperluan rumah terdakwa yang diserahkan melalui Miftahul Ulum.

Baca: Tuntut Imam Nahrawi 10 Tahun Penjara, Jaksa Nilai Terdakwa Hambat Prestasi Atlet Indonesia

Fakta hukum ini berdasarkan keterangan saksi-saksi Gatot Dewa Broto dan Lina Nurhasanah didalam persidangan.

"Kami menghormati JPU menjalankan tugasnya melakukan tuntutan. Tapi disisi lain, fakta-fakta hukum yang sebenarnya malah tidak diungkap," kata Wa Ode.

Baca: Tuntut Imam Nahrawi 10 Tahun Penjara, Jaksa Nilai Terdakwa Hambat Prestasi Atlet Indonesia

"Bahkan Pak Gatot, Sesmen, menyatakan hanya rumor, makanya yang bersangkutan tidak pernah melaporkan hal tersebut ke Menpora. Bagaimana bisa seseorang dinyatakan bersalah hanya berdasarkan rumor, gossip, tanpa ada fakta. JPU hanya merangkai gosip, bukan fakta," jelasnya. 

Jaksa KPK juga menyoroti kedekatan terdakwa Imam Nahrawi dengan asisten pribadinya Miftahul Ulum.

Sesuai dengan fakta hukum didalam persidangan bahwa Miftahul Ulum adalah orang kepercayaan terdakwa hal ini dapat terlihat bahwa Miftahul Ulum tidak hanya mengerjakan administrasi terkait asisten pribadi menpora dan juga mengatur jadwal kegiatan menteri, namun Miftahul Ulum juga kerap kali menjadi penyambung lidah terdakwa kepada pejabat-pejabat di Kemenpora.

Bahkan terdakwa selaku Menpora cenderung acuh dan melakukan pembiaran terhadap perbuatan yang dilakukan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi terdakwa.

Hal ini bertentangan dengan pengakuan terdakwa dipersidangan yang telah menyampaikan kepada jajaran pegawai Kemenpora agar memberitahu terdakwa jika ada pihak-pihak yang meminta sejumlah uang mengatasnamakan terdakwa selaku Menpora.

Menurut Wa Ode, soal kedekatan seorang Menteri dengan Aspri merupakan hal yang wajar selama masih dalam konteks pekerjaan.

Dan terkait tuntutan jaksa yang mengatakan Imam Naharawi cenderung acuh dan melakukan pembiaran serta pengakuannya bertentangan, Wa Ode mengatakan hal tersebut tidak sesuai dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan.

"Soal kedekatan Menpora dengan aspri, itu wajar adanya, tapi kedekatan dalam hal kedinasan," ungkapnya.

"Bisa dibayangkan, katanya ada gosip aspri minta uang ke pejabat-pejabat Kemenpora atas nama menpora, tetapi tidak seorangpun pernah menyampaikan atau melaporkan hal tersebut ke menteri, padahal menpora berkali-kali sudah mewanti-wanti jajarannya, jika ada yang meminta uang dan lain-lain mengatasnamakan menteri, agar Laporkan," ungkap Wa Ode.

"Hal ini dibenarkan oleh saksi-saksi yang ada. Lalu, atas gosip tersebut menpora dipersalahkan atau dianggap menerima uang. Sungguh tuduhan yang mengada-ada. Tuntutan JPU terlihat hanya narasi fiktif, tanpa dasar," tegasnya.

Wa ode juga mengatakan dalam fakta persidangan sebagaimana yang dikatakan oleh saksi-saksi yang dihadirkan bahwa Imam Nahrawi yang menjabat sebagai Menpora sudah memiliki biaya anggaran operasional tersendiri.

"Fakta yang terungkap dalam persidangan, Menteri Imam Nahrawi telah mempunyai biaya operasional sendiri yaitu Dana Operasional Menteri. Menurut saksi-saksi, Menpora IN tidak pernah meminta tambahan biaya operasional. Seluruh perjalanan dinas Menpora baik di dalam maupun luar negeri, semua sudah ada anggarannya," ungkapnya.

Selain itu, Wa Ode juga membeberkan fakta yang terungkap dalam persidangan, dimana saksi-saksi mengungkapkan dalam perjalanan kariernya sebagai menpora, Imam Nahrawi tidak pernah mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan anggaran operasional. 

"Dan yang pasti, soal anggaran perjalanan dinas atau anggaran operasional menteri tersebut sangat teknis dan Menteri tidak pernah mengurusi hal teknis. Dalam setiap kegiatan kedinasan, menteri hanya membawa dirinya dan buah pikiran, menteri sama sekali tidak mengurusi hal-hal teknis. Itu fakta yang terungkap dalam persidangan," bebernya.

Sebagai informasi, JPU KPK memberikan tuntutan kepada mantan Menpora Imam Nahrawi dengan hukuman 10 tahun penjara denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Selain itu, Imam Nahrawi juga dijatuhi hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp19.154.203.882 miliar.

Suap yang dilakukan Imam seperti yang tercantum dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

Sementara untuk gratifikasi diatur dalam Pasal 12 B jo Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
 

Baca: Stimulus PLN Juni 2020, Listrik Gratis Diperpanjang Akses www.pln.co.id atau WhatsApp

Baca: BIN: Pemuda-Pemuda Papua Tunjukkan Punya Masa Depan Cemerlang

Baca: BW Minta Pengadilan Ungkap Dalang Penyiraman Air Keras Terhadap Novel Baswedan

Baca: Hasil Liga Spanyol Athletic Bilbao vs Atletico Madrid Babak Pertama: Imbang 1-1, Costa Cetak Gol

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved