Banyak Kelemahan, KPK Minta Presiden Jokowi Revisi Perpres Soal Pengolahan Sampah Jadi Listrik
KPK meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 35 tahun 2018
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listri Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Berdasarkan kajian Sektor Kelistrikan: Pengelolaan Sampah untuk Energi Listrik Terbarukan (EBT), Perpres dengan tersebut tidak cukup operasional dan memiliki banyak kelemahan.
"Rekomendasi KPK adalah revisi Perpres nomor 35 tahun 2018 agar investasi bisa berjalan," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Baca: Anggota Komisi XI DPR Kritik Relaksasi Kebijakan OJK Antisipasi Dampak Corona
Baca: Prakiraan Cuaca BMKG di 33 Kota Besar Besok, 7 Maret 2020: Yogyakarta Hujan Petir, Bandung Berawan
Kajian ini dilakukan lantaran KPK melihat terdapat dua persoalan, yakni pengelolaan sampah yang mencapai 64 juta ton per tahun dan penyediaan listrik untuk PLN. Namun, Ghufron memaparkan, dari kajian itu, KPK menemukan persoalan aspek bisnis dan aspek teknologi terkait Perpres nomor 35 tahun 2018.
Baca: Ramalan Shio Besok, Sabtu 7 Maret 2020: Kuda Jangan Gegabah, Ayam Harus Kooperatif dalam Bekerja
Dari aspek bisnis, kata Ghufron, implementasi KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan usaha) yang kontrak bisnisnya terpisah antara Pemda-Pengembang dan Pengembang-PLN menyebabkan proses berlarut dan berpotensi kepada praktik bisnis yang tidak fair.
Kata dia, tipping fee atau biaya biaya pengumpulan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah memberatkan pemerintah daerah. Selain itu, tarif beli listrik juga memberatkan PLN karena menggunakan sistem take or pay. Dengan sistem ini, berapapun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian.
"Kondisinya jumlah sampah tidak sesuai target kuota sampah. Kondisi ini hanya menguntungkan pengusaha," katanya.
Sementara, kata Ghufron, diperlukan biaya langsung sekitar Rp2,03 triliun per tahun untuk pengolahan sampah yang dibayarkan ke badan usaha dengan perkiraan subsidi yang harus dibayarkan ke PLN sebesar Rp1,6 triliun atas selisih harga tarif beli listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang tinggi.
Dengan demikian, pemerintah perlu memikirkan beban anggaran sekitar Rp3,6 triliun tersebut.
Baca: Prakiraan Cuaca BMKG di 33 Kota Besar Besok, 7 Maret 2020: Yogyakarta Hujan Petir, Bandung Berawan
"Per tahun saja bisa Rp3,6 triliun kalau kemudian kontraknya 25 tahun tentu bisa diperhitungkan besarnya seberapa ya. Sementara reserve margin pasokan listrik PLN di Jawa Bali sudah mencapai 30% atau sudah tidak ada urgensi pasokan listrik baru di wilayah Jawa dan Bali, artinya tingkat kecukupannya sudah memenuhi atau optimal," katanya.
Sementara, dari aspek teknologi, Ghufron mengatakan, belum ada teknologi yang terbukti mampu melakukan sampah menjadi listrik. Dari 12 lokasi yang tercantum dalam Perpres belum ada satu pun teknologi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang terbukti terimplementasi dari sampah menjadi energi listrik atau waste to electricity.
"Hingga akhir tahun 2019 belum satu pun PLTSa berhasil terbangun. Proses pembangunannya sudah selesai tapi belum sukses sebagaimana diharapkan mengentaskan sampah dan menghasilkan energi listrik," ujarnya.
KPK mendukung program pemerintah untuk mendorong investasi. Namun, investasi yang didorong KPK adalah investasi yang membawa manfaat besar bagi negara dan masyarakat serta menghindari potensi praktik yang tidak adil karena menguntungkan salah satu pihak saja.
Untuk itu, KPK meminta pemerintah merevisi Perpres nomor 35 tahun 2018 dengan membuka opsi pengelolaan sampah menjadi energi atau tidak hanya sampah menjadi listrik yang memberatkan pemerintah. Hal ini mengingat
"Dengan kebijakan waste to energy, persoalan sampah dapat diselesaikan dengan teknologi incinerator atau mengubahnya menjadi bricket atau bentuk lainnya," kata Ghufron.