Terkait Radikalisme, Maruf Amin: Harus Dicegah dengan Meluruskan Cara Berpikir
Saat menghadiri seminar Sekolah Pimpinan Tinggi Polri, Wapres Maruf Amin menyampaikan pesan untuk mencegah radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM - Saat menghadiri seminar Sekolah Pimpinan Tinggi Polri, Wakil Presiden (Wapres) Maruf Amin menyampaikan pesan untuk mencegah radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Wapres Maruf Amin mengatakan radikalisme bukan terkait cara berpakaian melainkan adalah cara berpikir, cara bersikap, dan cara berperilaku.
"Kemungkinan adanya kelompok-kelompok yang keluar dari komitmen kebangsaan kita, harus mencegah timbulnya radikalisme maupun juga intoleran."
"Radikalisme itu sebenarnya bukan soal pakaian, tapi radikalisme itu adalah cara berpikir cara bersikap, cara berperilaku, dan cara bertindak," jelas Maruf Amin dalam tayangan yang diunggah YouTube tvOneNews, Jumat (8/11/2019).

Ia pun menegaskan, untuk mencegah radikalisme perlu adanya upaya dalam meluruskan cara berpikir dan bersikap.
"Oleh karena itu upaya-upaya yang harus kita lakukan adalah meluruskan cara berpikir, dengan meluruskan cara bersikap dan bertindaknya, dan juga meluruskan gerakan-gerakannya," ungkap Maruf Amin.
Sebelumnya, pembahasan terkait radikalisme marak menjadi perbincangan publik setelah ada wacana larangan menggunakan cadar dari Menteri Agama untuk pegawai pemerintah.
Selain itu, isu terkait radikalisme mencuat menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) berniat mengganti istilah radikalisme dengan manipulator pplitik.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan radikalisme tidak tertuju pada kelompok agama tertentu.
Siapapun yang ingin melawan ideologi negara, bisa masuk dalam kategori radikalisme.
Bahkan Mahfud sampai mengusulkan istilah 'manipulator agama' lantaran sebutan radikalisme kerap diidentikan dengan agama tertentu.
Dilansir tayangan yang diunggah kanal YouTube KompasTV, Jumat (1/11/2019), Mahfud MD menejelaskan mengenai konsep radikalisme.
Pertama, menyangkut subjek radikalisme yang mana bukan dari penganut agama tertentu.
Meskipun kebetulan kebanyakan pelakunya adalah orang penganut agama tertentu.
Tetapi dalam proses di pengadilan, bukti jelas bahwa telah melakukan tindakan yang disebut radikal atau penganut paham radikalisme.
Kedua, karena subjeknya tidak tertuju pada penganut agama tertentu maka perlu dicari sebutan lain.
"Kemarin presiden mengusulkan, meskipun tidak menjadi keputusan tetapi sekadar memberi ilustrasi," ujar Mahfud.
"Presiden mengatakan bahwa penganut radikal memang bukan agama tertentu sehingga mungkin perlu dicari sebutan lain."
"Sebutan lain itu misalnya, manipulator agama," tutur Mahfud.
Mahfud menjelaskan bahwa radikalisme merupakan paham yang berpandangan bahwa sistem bernegara salah sehingga harus dibongkar dari akarnya.
Penganut paham radikalisme juga melawan ideologi negara dengan alternatif ideologi lain.
Ideologi tersebut bertentangan dengan ideologi bangsa.
Paham radikalisme dalam tahapan tindakan, bisa berupa tindak kekerasan dan membangun permusuhan dengan orang lain.
Mahfud menambahkan, bentuk radikalisme di dalam agama antara lain berupa takfiri (kelompok yang selalu mengkafirkan orang lain yang berbeda dengan dia).(*)
(Tribunnews/Nanda Lusiana Saputri)