Sabtu, 4 Oktober 2025

RUU KUHP

Komnas Perempuan Sambut Baik Permintaan Jokowi Tunda Pengesahan RUU KUHP

Komnas Perempuan menyambut baik sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta pengesahan RUU KUHP ditunda.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Gita Irawan
Penandatangan nota kesepahaman antara Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana Manalu (kerudung) dengan Direktur Yayasan Sosial Indonesia Untuk Kemanusiaan (IKA) Maria Anik Wusari di Jakarta Selatan pada Rabu (6/3/2019) 

Ketiga, pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan.

Menurutnya, rumusan penjelasan pada pasal itu berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana.

"Tidak adanya kejelasan siapa yang dimaksud 'relawan dan pejabat yang berwenang' berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV atau AIDS," kata Azriana.

Keempat, pasal 419 tentang Hidup Bersama.

Menurutnya, kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri dalam draft terbaru telah ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”.

Padahal menurutnya dalam draft sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.

Sehingga perubahan itu akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini.

"Secara substansi penggunaan istilah “kepala desa atau dengan sebutan lainnya” adalah bentuk  manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan," kata Azriana.

Kelima, pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan.

Menurutnya pasal itu akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.

Ia menilai, pasal itu tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan.

Karena menurutnya kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70% angka kematian ibu.

Ia menilai dalam hal ini perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RKUHP dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara utuh.

Selain itu menurutnya, pasal itu juga akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis.

"Padahal  pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan," kata Azriana.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved