Rabu, 1 Oktober 2025

Beban Pembuktian di MK Berada Pada Pihak Berperkara Bukan Hakim Konstitusi

Fahri Bachmid menilai BW keliru dan salah memahami konsep 'Judicial Activism' dalam konsep hukum pembuktian.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Dewi Agustina
Tribunnews/JEPRIMA
Kuasa hukum Tim Kemenangan Nasional (TKN) Joko Widodo dan Maruf Amin, Yusril Ihza Mahendra bersama tim saat meluapkan kegembiraan usai mendengarkan hasil sidang putusan sengketa pilpres 2019 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2019). Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua gugatan dari pemohon. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, selaku pihak pemohon perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya melakukan Judicial Activism (aktivisme yudisial).

Hal ini terkait upaya hakim konstitusi menilai tidak berwenang menangani pelanggaran kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di Pilpres 2019.

Sebab kewenangan itu berada di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Hal ini disampaikan pada saat pembacaan putusan di ruang sidang lantai 2 gedung MK, Kamis (27/6/2019).

Menanggapi pernyataan BW soal Judicial Activism itu, anggota tim kuasa hukum Jokowi-Maruf, Fahri Bachmid tidak sependapat.

Dia menilai BW keliru dan salah memahami konsep 'Judicial Activism' dalam konsep hukum pembuktian.

"Pernyataan BW yang mempertanyakan tidak dilakukannya 'Judicial Activism' oleh Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus PHPU Pilpres tahun 2019 dalam perkara No.01/PHPU-PRES/VXII/2019 dengan Pemohon adalah Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno adalah keliru dan tidak tepat," kata Fahri, Sabtu (29/6/2019).

'Judicial Activism' mengacu pada putusan pengadilan yang diduga didasarkan pada pendapat pribadi, bukan berdasarkan hukum yang ada.

Untuk persidangan di MK mempunyai hukum acara sendiri.

Baca: Dikunjungi Presiden Jokowi dan Iriana, Risma Sudah Lancar Bicara

Sehingga, kata dia, upaya BW memaksa hakim MK untuk melakukan sesuatu dalam konteks pembuktian perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden 2019 berpotensi merusak sistem hukum, khususnya hukum acara MK serta berbagai kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang MK.

"Hal tersebut tentu secara normatif serta konstitusional sangat bertentangan dengan UUD 1945,khususnya ketentuan pasal 24C ayat (1),Jo. UU RI No.24 Tahun 2003 Tentang MK, khusunya Ketentuan pasal 36 ayat (1) mengenai alat bukti,Jo. Ketentuan pasal 45 ayat (1), yang menegaskan bahwa MK memutus perkara berdasarkan UUD 1945, sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim,Jo. Peraturan Mahkamah Konstitusi RI No. 4 Tahun 2018 Tentang Tata Beracara dalam penyelesaian PHPU Pilpres, yang kesemuanya adalah berdasar pada alat bukti yang sah," ujarnya.

Selain itu, kata dia, BW tidak boleh mendorong agar hakim konstitusi bersikap parsial dengan cara aktif untuk mencari alat bukti untuk kepentingan pemohon.

Menurut dia, ini adalah sebuah ironi dalam konteks sengketa Pilpres dengan corak 'contentious' yang mana para pihak saling berhadapan serta membela kepentingan hukum yang berbeda pula.

Sehingga, pemohon secara hukum diberi beban untuk membuktikan dalil yang dikemukakan atau sesuai sifat ajaran hukum yang disebut dengan 'Actori Incumbit Probatio', dan menjadi melawan hukum jika secara otoritatif Mahkamah didorong oleh pihak Pemohon agar dapat berperan aktif untuk membantu mencari serta menemukan alat bukti untuk kepentingan pemohon.

Baca: Kopda Lucky Prasetyo Dianiaya Hingga Meregang Nyawa, Berikut Tampang 4 Pria Kekar Terduga Pelaku

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved