Rabu, 1 Oktober 2025

Pemilu 2019

KPU Siap Hadapi Gugatan Pemilu di Mahkamah Konstitusi

Komisi Pemilihan Umum (KPU) siap menghadapi gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Kompas.com/PRIYOMBODO
Ilustrasi 

Hal ini karena dalam materi permohonan gugatan yang diajukan ke MK, kuasa hukum BPN dianggap lebih mengedepankan pendekatan kualitatif yang alat ukurnya TSM. 

"Saya lihat permohonan gugatan BPN, ada dua aspek yang mau didorong yaitu kualitatif dan kuantitatif. Aspek kualitatif ini lebih didahulukan, terbukti argumentasinya itu didahulukan. Saya catat ada lima, pertama penggunaan dana APBN atau program pemerintah untuk memenangkan calon 01, kedua soal netralitas aparat dalam hal ini kepolisian dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, restriksi media (pembatasan media), kelima dikriminasi penegakan hukum. Ini yang mereka (BPN,-Red) masalahkan dan dianggap berpengaruh terhadap hasil pemilu," ujar Refly. 

Lantaran hal itu, lanjut Refly, penting bagi BPN untuk bisa membuktikan pelanggaran yang terkategori TSM itu. 

Tak hanya itu, jika BPN mampu membuktikan terjadinya pelanggaran Pemilu terkategori TMS, derajat terbuktinya pun harus kuat. 

"Ada dua hal yang harus dilakukan kubu 02 , pertama membuktikan bahwa lima hal itu terjadi. Dan saya kira (bukti berupa) link berita tidak bisa berdiri sendiri, harus ada bukti-bukti lain yang mendukung. Kalau ini terbukti, lalu derajat terbuktinya itu. Kalau derajat terbuktinya itu mampu menggedor doktrin TSM ya maka peluang (memenangi gugatan) ada. Kalau tidak ada peluang menggedor kesana, peluang kecil sekali," ungkap Refly. 

Baca: PDIP, Nasdem, dan Hanura Tangerang Ajukan Gugatan Hasil Pileg ke Mahkamah Konstitusi

Selanjutnya, menurut Refly, poin kedua yang bakal menentukan adalah paradigma hakim-hakim MK. 

Saat ini, kata Refly, terdapat tiga paradigma yang ada. 

Paradigma pertama, paradigmanya sederhana sekali yakni hanya menyangkut soal hitung-hitungan saja.

"Kalau terbukti dikabulkan, tidak terbukti ya ditolak. Jadi tidak ada pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang," katanya. 

Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra
Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra (KOMPAS.COM/Sandro Gatra)

Lalu, paradigma kedua adalah paradigma hakim MK yang mulai muncul di tahun 2008 saat MK dipimpin Mahfud MD. 

Saat itu, MK tak lagi bicara sekedar hitung-hitungan karena MK di bawah kepemimpinan Mahfud memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang yang sebenarnya tidak diatur dalam hukum acara. 

Sedangkan paradigma ketiga yang diusulkan Refly Harus adalah seharusnya MK tidak lagi bicara soal TSM, hitung-hitungan suara yang memang menjadi hukum formil, tetapi bicara fungsi MK sebaga penjaga konstitusi.

"Menjaga marwah Pemilu jujur dan adil. Intinya harusnya pemilu jurdil itu, MK tidak membiarkan siapapun yang melakukan pelanggaran Pemilu atau kejahatan Pemilu untuk menikmati keuntungan atau memetik hasil," terang Refly. 

Baca: Pernyataan Bambang Widjojanto saat Daftarkan Gugatan Pilpres ke MK, Reaksi Jokowi hingga Langkah KPU

Refly menyatakan selain kemampuan membuktikan dugaan kecurangan secara TSM, paradigma yang dipakai hakim-hakim MK akan sangat menentukan peluang Prabowo-Sandi memenangi gugatan. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved