Pilpres 2019
Makin Sulit Dinyatakan Adanya Pelanggaran TSM Ketika Hanya BPN Bermodalkan 51 Alat Bukti
Karena untuk pembuktian adanya pelanggaran TSM, tentu saja membutuhkan kuantitas pelanggaran yang tidak sedikit.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Makin sulit membuktikan tudingan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengenai adanya kecurangan Pemilu Presiden (Pilpres) yang diduga Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) hanya dengan 51 bukti yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Demikian menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Selasa (28/5/2019).
Karena untuk pembuktian adanya pelanggaran TSM, tentu saja membutuhkan kuantitas pelanggaran yang tidak sedikit.
Apalagi selisih suara antara pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno adalah 16 juta lebih.
"Jika yang diungkapkan hanya puluhan kasus misalnya, rasanya masih jauh dari kemungkinan bisa disebut terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Tentunya makin sulit dinyatakan adanya pelanggaran TSM," ujar Ray Rangkuti.

Jika membaca dalil permohonan tim BPN, lebih lanjut ia menjelaskan, tampaknya mereka lebih banyak menyasar pada dugaan adanya pelanggaran yang bersifat TSM.
Dalam bahasa lain menyoal kualitas jurdil pelaksanaan pilpres lalu. Oleh karena itu, pihak BPN banyak mengemukakan berbagai data terkait pelanggaran tahapan dan berhubungan dengan hal itu.
Baca: Sudah Lama Dipantau, Mustofa Pernah Dipanggil Terkait Penyebaran Konten Negatif
Karena yang disasar adalah dugaan adanya pelanggaran TSM itu, maka dia melihat, BPN seperti kurang mengemukakan dalil pembuktian suara yang hilang atau sejenisnya yang mengakibatkan adanya kerugian di pihak 02.
Dalam bahasa lain, pihak BPN tidak sedang menguji kuantitas perolehan suara tapi kualitas pelaksanaannya.
"Itulah mengapa lebih banyak peristiwa yang disodorkan dalam berbagai bentuk laporan media online atau bisa jadi kesaksian orang perorang," jelasnya.
Sementara kerugian yang diakibatkan adanya misalnya kesalahan penghitungan suara, hilangnya suara atau berpindahnya suara imbuh dia, tidak terlalu menonjol dalam gugatan Prabowo-Sandi di MK.
"Dan mungkin karena itulah fakta tentang jumlah perolehan suara tiap pasangan capres menurut versi BPN tidak diungkapkan. Apakah itu perhitungan dari QC, RC atau manual menurut versi dan data mereka sendiri," paparnya.

Oleh karena itu bisa dipahami jika pihak BPN sejak dini menyatakan agar MK tidak sekedar menjadi 'mahkamah kalkulator'.
Baca: Kapolri Ungkap 4 Tokoh Nasional Target Pembunuhan: Wiranto, Luhut, Budi Gunawan dan Gories Mere
Menurut dia, model gugatan ini tentu boleh saja dilakukan. Apalagi bisa dibuktikan akibat berbagai pelanggaran itu terjadi kehilangan suara, atau menggelembungnya suara secara tidak wajar di pihak lain.
Hanya saja, dia menegaskan, sejauh ini, model sengketa adanya dugaan pelanggaran TSM relatif sudah tidak dipergunakan lagi sebagai model pembuktian pembatalan hasil pemilu di MK.