Jumat, 3 Oktober 2025

KPK Diminta Kenakan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang Kepada Setya Novanto

ICW berharap KPK mengenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada Setya Novanto.

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews/Irwan Rismawan
Terpidana kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang juga mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (10/4/2019). Setya Novanto diperiksa sebagai saksi terkait kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan tersangka Markus Nari. Tribunnews/Irwan Rismawan 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti masih minimnya aparat penegak hukum, termasuk KPK menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan pasal gratifikasi.

Padahal, TPPU dan gratifikasi dapat membantu penegak hukum dalam memulihkan kerugian negara akibat korupsi dan memberikan efek jera terhadap koruptor.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mendorong KPK menerapkan pasal pencucian uang kepada mantan Ketua DPR sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang kini menjadi terpidana kasus korupsi e-KTP.

"Setnov (Setya Novanto) misalnya. Itu kan juga tidak dijerat dengan TPPU sampai hari ini," ujar Kurnia Ramadhana di Kantor ICW, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (12/5/2019).

Baca: Rekapitulasi Tingkat Nasional: Ini Perolehan Suara Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi di 6 Provinsi

Selain itu, ICW menilai KPK di tangan Agus Rahardjo masih belum maksimal menggunakan pasal TPPU dalam menangani sebuah perkara.

Padahal, pasal TPPU penting digunakan untuk mengembalikan kerugian uang negara dan memberi efek jera terhadap koruptor.

"KPK pada era kepemimpinan Agus Rahardjo cs masih terhitung minim menggunakan aturan TPPU pada setiap penanganan perkara," kata Kurnia.

ICW mencatat dalam kurun 2016 sampai dengan 2018, Agus cs hanya menerapkan pasal TPPU terhadap 15 perkara.

Baca: Alur Peristiwa Kasus Kivlan Zen: Pemberian Surat di Bandara, Cegah Dicabut, Hingga Laporkan Balik

Padahal, dalam tiga tahun terakhir ada ratusan perkara yang berpeluang dijerat dengan pasal TPPU.

"Ini menunjukkan bahwa KPK belum mempunyai visi untuk asset recovery, dan hanya berfokus pada penghukuman badan," ujarnya.

Kurnia menyebut keterkaitan TPPU dengan praktik korupsi sangat erat, baik segi yuridis maupun realitas.

Untuk Yuridis, katanya, korupsi secara spesifik disebutkan sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010.

Kurnia Ramadhana
Kurnia Ramadhana (Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com)

Artinya, TPPU salah satunya dapat diawali dengan perbuatan korupsi.

Selain itu, realitas sekarang menunjukkan pelaku korupsi akan berusaha menyembunyikan harta yang didapat dari praktik korupsi dengan menyamarkan kepemilikan harta.

Baca: Soal Tim Asistensi Hukum Bentukan Wiranto, Adian Napitupulu: Mending Tidak Usah

"Dengan disembunyikannya harta tersebut maka seharusnya aturan TPPU dapat dikenakan pada setiap pelaku korupsi," jelasnya

Menurut Kurnia, setidaknya ada tiga keuntungan bagi KPK jika menggunakan pasal TPPU pada pelaku korupsi.

Pertama, menggunakan pendekatan follow the money.

Kedua, memudahkan lapangan penuntutan karena mengakomodir asas pembalikan beban pembuktian.

"Dan terakhir, memaksimalkan asset recovery," katanya

Di sisi lain, ICW mengapresiasi kinerja KPK sepanjang 2015 sampai dengan 2018 dalam memberantas praktik-praktik rasuah.

Hal ini dilihat dari penetapan tersangka dan jumlah kasus yang ditangani Lembaga Antirasuah setiap tahun.

Total yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2018 yakni 261 orang dengan jumlah kasus sebanyak 57.

Sedangkan, pada 2017, KPK hanya menetapkan 128 orang tersangka dengan 44 kasus.

"Kemudian pada tahun 2016 lembaga anti korupsi itu menetapkan 103 tersangka dengan 35 kasus," kata Kurnia.

Keluarga Novanto ajukan mencicil

Keluarga Setya Novanto kemarin Selasa (18/9/2018) mengajukan permohonan mencicil uang ganti negara.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengabulkan permintaan tersebut.

Setya Novanto, terpidana kasus korupsi e-KTP dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Dia diharuskan membayar uang pengganti US$ 7,3 juta. Jika dikurskan sekarang, ganti ruginya sekitar Rp 108 miliar.

Baca: 5 Keutamaan Besar Memberi Makanan Buka Puasa di Bulan Ramadan, Apa Sajakah Itu?

Permintaan mencicil itu diajukan keluarga Setya Novanto yang mendatangi KPK kemarin.

Selain itu, pihak keluarga juga menyerahkan dua surat kuasa.

Juru bicara KPK Febri Diansyah
Juru bicara KPK Febri Diansyah (KOMPAS/DYLAN APRIALDO)

Surat pertama untuk pemindahbukuan dari rekening Bank Mandiri berisi dana Rp 1,1 miliar kepada KPK.

"Nanti kami akan cek berapa isi rekening itu dan jika sudah bisa, tentu akan dilakukan pemindahbukuan," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Selasa (18/9/2018).

Surat kuasa lainnya untuk menerima pembayaran dari ganti rugi aset Setya Novanto yang terlewati proyek kereta cepat Bandung-Jakarta di daerah Jatiwaringin.

Keluarga Setya Novanto juga tengah menjual salah satu rumah di Cipete. Perkiraan uang yang bisa terkumpul dari dua aset ini Rp 13 miliar.

Selain menerima pembayaran ganti rugi, Febri bilang, KPK akan tetap melakukan identifikasi dan pelacakan aset Setya Novanto yang bisa dieksekusi untuk pembayaran ganti rugi negara.

"Sejauh ini kami sudah mengidentifikasi sejumlah aset tersebut," katanya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved