21 Tahun Tragedi Trisakti, Komnas HAM Tidak Yakin Jaksa Agung Tuntaskan Kasusnya
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik tidak yakin Kejaksaan Agung akan menyidik kasus tragedi Trisakti
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Minggu, 12 Mei 2019 tepat 21 tahun tragedi Trisakti yang merenggut nyawa empat mahasiswanya saat berdemonstrasi menghendaki turunnya rezim Orde Baru.
Sampai saat ini, aparat yang saat itu bertugas dan bertanggung jawab dan diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap Hendriawan Sie bin Hendrik Sie, Elang Mulya Lesmana bin Bagus Yoga Nandita, Herry Hartanto bin Syahrir, dan Hafidin Royan bin Raden Enus Yunus belum juga diadili.
Satu di antara penyebabnya adalah berkas penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusi (Komnas HAM) RI yang belum ditingkatkan statusnya oleh Kejaksaan Agung RI sejak berkas tersebut diselesaikan pada 2002 silam.
Baca: Perbedaan KTA dan Pinjaman Online yang Mungkin Belum Anda Tahu
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik tidak yakin Kejaksaan Agung akan menyidik kasus tersebut.
Menurutnya, sejak dulu, Kejaksaan Agung selalu menolak meneruskan berkas penyelidikan yang telah diserahkan Komnas HAM ke tingak penyidikan.
"Tidak yakin, sikap Jaksa Agung sejak dulu selalu menolak meneruskan penyidikan," kata Taufan saat dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (12/5/2019).
Baca: Sandiaga Sebut Gejala Keracunan Relawan yang Berdemo di Bawaslu Mirip dengan Petugas KPPS di Warakas
Untuk itu, ia meminta Presiden RI Joko Widodo untuk memerintahkan Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo segera menyidik kasus tersebut.
Menurutnya, hal tersebut selama ini samgat diharapkan masyarakat khususnya para keluarga korban tragedi Trisaksti.
"Karena itu kami meminta Presiden yang memerintahkan Jaksa Agung selaku bawahannya langsung. Ini bukti yang ditunggu masyarakat khususnya keluarga korban terhadap komitmen Presiden," kata Taufan.
Di sisi lain, ia menilai gerakan moral seperti aksi Kamisan sangat penting untuk menyuarakan isu Hak Asasi Manusia.
"Gerakan moral seperti itu sangat penting di dalam menyuarakan issu HAM terutama di negara yang belum sepenuhnya menghormati keadilan hukum serta masih ada kekuatan tertentu yang mendapat impunitas atas tindakan pelanggaran hukum yang mereka lakukan," kata Taufan.
Baca: Senin (15/5), Presiden Jokowi Resmikan Tol Pandaan-Malang Seksi 1-3
Taufan menilai, dampak gerakan moral seperti alsi Kamisan akan terus menjadi pengingat bagu bangsa Indonesia bahwa masih ada utang keadilan hukum yang ditanggung bangsa Indonesia kepada korban dan keluarga korban.
"Dampaknya untuk jangka panjang akan terus mengingatkan bangsa Indonesia bahwa ada utang keadilan hukum bangsa ini kepada korban. Juga bagus di dalam mengingatkan bangsa kita bahwa pernah ada peristiwa pelanggaran HAM berat, ada kesemena-menaan kekuasaan di masa lalu, yang tidak boleh terulang lagi di masa depan," kata Taufan.
Untuk itu, Komnas HAM tetap mendorong Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus tersebut ke tahap penyidikan.
"Kami tetap mendorong Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus ini ke tahap penyidikan sejalan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2002," kata Taufan.
Sumpah Benny Rhamdani
Anggota DPD RI asal Sulawesi Utara, Benny Rhamdani menyampaikan orasinya saat menghadiri Acara Peringatan 21 Tahun Tragedi Trisakti di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Minggu (12/5/2019).
Di depan pusara kedua rekan seperjuangannya, Elang Mulya Lesmana dan Herry Hartanto, anggota Rembuk Nasional Aktivis (RNA) 98 tersebut bersumpah akan menyeret Wiranto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto yang saat peristiwa itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategi TNI Angkatan Darat (Pangkostrad).
Baca: 21 Tahun Tragedi Trisakti, Aktifis 98 Berziarah ke Makam Elang dan Hery di Tanah Kusir
"Kita ingin menyeret siapapun pelaku kejahatan HAM. Tidak Prabowo tidak Wiranto dan tidak siapa pun yang menjadi kekuatan antek orde baru, yang menjadi musuh gerakan reformasi, maka kita bersumpah, demi Allah kita akan menyeret mereka ke penjara sampai kapan pun dan sampai tuntasnya gerakan reformasi," kata Benny.
Baca: Rekapitulasi Nasional untuk Kalimantan Selatan: Prabowo-Sandi Unggul 646.224 Suara Atas Jokowi-Maruf
Ia pun memperingatkan kepada Wiranto dan Prabowo bahwa ia dan para mantan aktifis pro reformasi 1998 adalah tanda bahaya bagi mereka berdua.
"Peringatan 21 tahun reformasi ini memberi pesan kepada saudara Prabowo, kepada saudara Wiranto, kami yang masih hidup hari ini adalah tanda bahaya bagi kalian berdua dan seluruh antek-antek kalian," kata Benny.
21 tahun tragedi Trisakti
Tepat 21 tahun lalu yakni pada 12 Mei 1998 empat mahasiswa Trisakti tewas terkena peluru aparat rezim Orde Baru.
Keempat mahasiwa yang dikenang sebagai Pahlawan Reformasi tersebut, yakni Hendriawan Sie bin Hendrik Sie, Elang Mulya Lesmana bin Bagus Yoga Nandita, Herry Hartanto bin Syahrir, dan Hafidin Royan bin Raden Enus Yunus.
Mengenang peristiwa tersebut puluhan aktifis reformasi yang tergabung dalam Rembuk Nasional Aktifis (RNA) 98 menziarahi makam kawan Elang dan Hery di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Minggu (12/5/2019).
Tampak juga keluarga dari Elang dan Hery berada di antara mereka.
Baca: ICW Sebut Bukti Kasus BLBI Sudah Cukup Jelas
Sampai di hadapan pusara kedua kawannya itu, mereka duduk berkumpul, bertahlil, dan membaca doa untuk kedua temannya sertabagi kebaikan bangsa dan negara.
Tampak juga Anggota DPR RI dari PDIP Adian Napitupulu dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Setelah itu, secara bergantian mereka juga melakukan tabur bunga dan air mawar di atas nisan dan pusara tersebut.
Baca: Rekapitulasi Nasional untuk Kalimantan Selatan: Prabowo-Sandi Unggul 646.224 Suara Atas Jokowi-Maruf
Tidak hanya itu, sejumlah perwakilan dari mereka memberikan refleksi dan orasinya mengingat tragedi Trisakti 1998.
Tampak yang berorasi di sana antara lain Adian, Usman, Anggota DPD RI dari Sulawesi Utara Benny Ramdhani, Kader Partai Hanura Wahab Talaohu, dan tokoh lainnya.
Orasi yang disampaikan mereka beragam.
Namun benang merah dari yang mereka sampaikan adalah mereka siap masuk ke dalam pemerintahan dan menentang kekuatan Orde Baru yang ingin berkuasa.
Hal itu terlihat dari konferensi pers yang mereka senggelarakam setelah acara itu selesai tidak jauh dari makam Elang dan Hery.
"Betapa pun Soeharto yang menjadi simbol kekuasaan totaliter itu telah mundur, namun sebenarnya kekuatan Orde Baru belum pupus. Mereka bermertamorfosa dan memanfaatkan deregulasi politik berupa pendirian partai-partai politik."
"Keterbukaan itu memang telah membuat atmosfer demokrasi membaik. Namun transisi demokrasi tersebut telah dimanfaatkan oleh kekuatan Orba untuk kembali berkuasa. Dan bagian dari unsur kekuatan lama itu adalah kelompok politik Cendana," kata Mantan Ketua Senat Mahasiswa Trisakti tahun 1997-1998 Julianto Hendro.
Baca: Alur Peristiwa Kasus Kivlan Zen: Pemberian Surat di Bandara, Cegah Dicabut, Hingga Laporkan Balik
Julianto pun membacakan garis besar Keputusan hasil RNA 98 yang pernah dibacakan di hadapan Presiden Joko Widodo.
Ada tiga poin hasil keputusan RNA 98 uanh mereka bacakan.
Pertama menetapkan Pahlawan Reformasi dalam Peristiwa Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi sebagai Pahlawan Nasional.
Kedua lenetapan Hari Bhinneka Tunggal Ika.
Baca: Umuh Muchtar Punya Permintaan Ini ke Robert Rene Alberts
Ketiga mendukung Joko Widodo untuk menjadi Presiden RI periode 2019-2024.
"Butir ketiga tersebut, merupakan kesepakatan bahwa Aktivis 98 memasuki politik kekuasaan. Kebulatan tekad para Aktivis 98 untuk memasuki kekuasaan tersebut bertujuian menjaga berjalannya cita-cita Reformasi 98," kata Julianto.

Untuk itu, mereka berharap peristiwa kelam 21 tahun yang lalu tidak terulang kembali ke depannya.
"Kami para Aktivis 98 tidak menginginkan demokrasi yang sudah berjalan sesuai harapan pada saat ini kemudian harus kembali menjadi kelam, seperti Peristiwa 21 tahun lalu. Maka selain melakukan eksperimen politik parlementer sejak 2009, para Aktivis 98 telah membuat sejarah baru dengan menyepakati untuk berkuasa pada 2019 -2024," kata Julianto.