Sabam Sirait Luncurkan Buku Berpolitik Bersama Tujuh Presiden
Politisi senior Sabam Sirait akan meluncurkan buku berjudul "Berpolitik Bersama 7 Presiden"Senin pekan depan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Politisi senior Sabam Sirait akan meluncurkan buku berjudul "Berpolitik Bersama 7 Presiden"Senin pekan depan. Di buku terbarunya nanti, deklarator PDI pada tahun 1973 yang lahir pada 13 Oktober 1936 akan mengisahkan perjalanan panjang di gelanggang politik.
Muulai Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Seorang politisi harus mempunyai pendirian yang jelas," kata Sabam, (Rabu, 20/3/2019).
Apa yang disampaikan Sabam Sirait, buka kata-kata belaka. Dalam buku itu dikisahkan bagaimana Sabam Sirait menyerap ilmu dari para pendiri bangsa, terutama Bung Karno. Antara kata dan tindakan Sabam Sirait benar-benar sejalan.
Saat diminta menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) misalnya, pria asal Asahan ini kerap menyampaikan pertimbangan kepada Presiden Soeharto secara jelas meski berbeda dengan sikap DPA yang lain, yang biasanya berasal dari mantan menteri dan pengusaha tersebut.
Di tahun 1993, dalam Sidang Umum MPR ketika itu, Sabam menginterupsi pimpinan sidang. Di masa Orde Baru, interupsi merupakan suatu hal yang tabu dilakukan, apalagi dalam forum seperti sidang umum MPR.

Interupsi Sabam itu ramai dibicarakan dalam media-massa nasional dan internasional sebagai sikap kritis, teguh pada pendirian yang jelas serta wujud keberpihakan pada rakyat.
"Politisi itu harus dekat dengan rakyat. Kalau politisi tak dekat dengan rakyat, maka akan menjadi tak berguna. Sehingga politisi yang jauh dengan rakyat akan hancur dengan sendirinya," jelas Sabam, yang saat remaja sudah menjadi aktivis mahasiswa dengan bergabung di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Sebagai tokoh senior, Sabam juga berpesan kepada para politisi untuk mengikuti proses sejarah, baik sejarah bangsa sebelum merdeka maupun setelah merdeka, sehingga bisa bermetamorfosis menjadi politisi negarawan.
Politisi juga harus menyesuaikan perjuangan politik dan eknomi dengan kebutuhan nasional dan juga kebutuhan inetrnasional. Termasuk melihat kepentingan tiap-tiap provoinsi secara menyeluruh.
"Jangan membiarkan ada daerah yang tertinggal. Jangan membiarkan ada satu daerah yang tetap di belakang sementara daerah lain maju. Semua kepentingan nasional bangsa Indonesia ada di setiap daerah. Termasuk Aceh dan Papua. Bukan Indonesia namanya bila tanpa Aceh dan Papua," tegas Sabam, yang kini menjadi anggota DPD RI.
Dalam buku itu, ungkap Sabam, juga bisa menjadi gambaran bahwa seorang politisi harus merupakan sosok yang kritis. Sabam berprinsip, seorang politisi tak boleh begitu saja memberikan dukungan tanpa dasar yang jelas. Dan dalam bersikap, seorang politisi harus selalu mengutamakan kepentingan nasional.
Buku ini juga menjadi gambaran yang menarik. Sebab dalam buku ini mengisahkan sosok Sabam yang memang visioner.
Baca: Adian Napitupulu Tegur Arief Poyuono Agar Tak Emosi Saat Debat Masalah BPJS, Najwa Shihab Ngakak
Misalnya kisah saat peluncuran buku "Politik Itu Suci" di tahun 2013, Sabam Sirait di depan umum mengatakan bahwa Jokowi pantas menjadi Presiden RI. Satu tahun kemudian, Jokowi dilantik menjadi Presiden RI ke-7.
"Saat ini, kita harus menjaga politik nasional yang didasarkan pada Pancasila. Ini tantangan kita. Kita juga harus memebrikan keadilan seluruh Indonesia," kata dia.
