Sengketa Lahan
Amstrong Sembiring Berharap Polisi Segera Gelar Perkara Kasus Sengketa Lahan Eks DPW PAN Jakarta
Amstrong mengingatkan, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (PK MA) derajatnya sama dengan undang-undang. Putusan PK MA
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amstrong mengingatkan, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (PK MA) derajatnya sama dengan undang-undang. Putusan PK MA itu terang benderang, dan untuk memahami isi dari putusan tersebut tidak perlu orang harus bersekolah hukum, ungkapnya.
Sikap tindak terlapor tersebut sangat arogan, meski melanggar putusan yang berkekuatan hukum tetap," ujarnya di Jakarta belum lama ini.
Bahkan tanah dan bangunan yang masih dalam proses perkara penggelapan di polda metro jaya tersebut malah disewakan kembali usai pasca DPW PAN Jakarta.
"Saya heran, apakah si-terlapor ini tidak dinasehati oleh pengacaranya bahwa rumah yang sedang dalam sengketa itu tidak dapat disewakan, jangan begitu kalo mau disebut pengacara yang baik profesional "jangan memancing ikan di air keruh" dan suruh pengacaranya untuk baca baik-baik mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman, Pasal 28 Ayat (6) didalam pasal tersebut disebutkan secara tegas bahwa rumah yang sedang dalam sengketa tidak dapat disewakan. "Ingat ini negara hukum bukan negara kekuasaan "
Amstrong mengatakan bahwa Pasal 1 angka (5) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(“UU 12/2011”) yang berbunyi: “ Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
Berarti perbuatan terlapor tersebut telah bertentangan dengan UU, dan apa yang dilakukan oleh terlapor adalah merupakan tindakan yang konyol.
Amstrong mengingatkan kembali jangan berpikir bahwa punya uang, atau punya koneksi-koneksi tertentu, maka ia akan bisa terhindar dari hukum. Dan saya buktikan bahwa hukum itu berlaku bagi semua orang itu sama.
Amstrong percaya hukum itu dibuat agar menertibkan, dan sanksi-sanksi pun bukan untuk merugikan, tetapi agar ada efek jera dari hukuman, sehingga orang harus patuh dan taat hukum, kita ini negara hukum, ungkapnya.
Kuasa Hukum Haryanti Sutanto sekaligus sebagai Pelapor kasus dugaan penggelapan yang dilakukan oleh Soerjani Sutanto (kakak kandung haryanti sutanto) perihal sengketa lahan dan bangunan Eks DPW PAN DKI Jakarta terkait Eko Patrio di kawasan Tebet, Jaksel, untuk mendesak kepolisian segera gelar perkara.
Amstrong yang sebagai pelapor menggunakan dasar hukumnya, yaitu Pasal 108 Ayat 1 KUHAP, berbunyi : Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
Dalam laporan tersebut, Amstrong sendiri sudah berkali-kali harus menelan kekecewaan dengan kinerja tim penyidik unit (3) Subdit 2 Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Pasalnya, kasus yang ditangani semakin tidak ada kejelasan dan laporan tersebut teregistrasi dengan nomor LP/4417/VIII/2018/PMJ/Dit. Reskrimum pada tanggal 21 Agustus 2018.
Kata Amstrong, “Advokat saja yang melapor susah mendapatkan kepastian hukum, bagaimana dengan orang awam yang melapor”, ungkapnya heran.
Amstrong seminggu yang lalu telah mengirimkan surat terbuka untuk Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Isi surat ini sendiri berisi pengalaman tentang kekecewaannya terhadap kinerja tim penyidik Unit (3) Subdit 2 Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Pasalnya, kasus yang ditangani semakin tidak jelas.
Amstrong berharap laporan saya sudah 7 bulan lamanya segera untuk dituntaskan, karena saya sudah muak sekali melihat kelakuan seorang warga negara yang bisa seenaknya berbuat semena-mena, yaitu kakak kandung kliennya, bernama Soerjani Sutanto, nyata-nyata telah menguasai lahan dan bangunan tersebut. Padahal, Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Soerjani selaku pemohon, sehingga surat sertifikat yang sudah dibalik nama yang dibuatnya dengan semena-mena sudah tidak lagi mengandung kekuatan hukum, sertifikat tersebut sudah tidak mempunyai dasar hukumnya.
Ia menjelaskan substansi perkara ini, bahwa apa yang diklaim milik bangunan rumah tersebut oleh terlapor yang saat itu diperolehnya dari akta persetujuan dan kuasa nomor 6,7,8, dan 9, yang merekomendasikan si terlapor untuk berbuat sehingga membuat akta hibah no 18 tahun 2011 tanggal 9 Mei 2011 kenyataan telah dikesampingkan dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 214 PK/Pdt/2017, dengan begitu berarti akta persetujuan dan kuasa, berikut akta hibah dan sertifikat sudah dibaliknamakan tersebut sudah tidak mengandung kekuatan hukum lagi atau cacat hukum, maka harus kembali kepada sertifikat awal kembali yaitu sertifikat atas nama Almarhumah Soeprati.
''Apa yang dilakukan oleh Soerjani Sutanto sudah jelas-jelas bertentangan hukum'', dan perlu diketahui bahwa permohonan PK yang diajukan tim pengacara tersebut penuh tipu muslihat, coba anda bayangkan saja mana ada Novum (akta hibah no 18/2011) diajukan tapi sertifikat sudah dirubah ke atas nama diri pribadinya jauh-jauh sebelumnya, ini jelas patut diduga keras permainan pengacara dan notaris/PPAT, selain itu yang sangat naif tim kuasa pengacara Soerjani Sutanto tersebut mengajukan permohonan PK juga semata-mata ingin memberi pesan dirinya korban dari tipu muslihat pihak lawan yang sebenarnya "maling teriak maling" untuk menipu semua orang termasuk nyaris ditipunya hakim agung MA ditingkat PK, pungkasnya.