Jumat, 3 Oktober 2025

KPK Temukan Potensi Korupsi dalam Kebijakan Pencampuran Minyak Sawit ke BBM Jenis Solar

Menurut Dedi, awal kecurigaan KPK yakni kapasitas FAME yang tidak sebanding dengan produksinya.

Editor: Johnson Simanjuntak
Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com
kajian transformatif impor BBM yang disusun oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan potensi korupsi dalam kebijakan pencampuran minyak sawit (Fatty Acid Methyl Esters/FAME) ke Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar sebesar 20% atau Program B20.

Ini terungkap dalam kajian transformatif impor BBM yang disusun oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK.

Studi ini dilakukan mulai November 2017 - Februari 2018. Group Head Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, Dedi Hartono, mengatakan pemicu terjadinya korupsi adalah kewajiban melampirkan kontrak FAME bagi badan usaha yang ingin melakukan impor Solar.

“Dengan pendekatan Corruption Impact Assesment (CIA), di situ terindikasi kalau kontrak FAME tersebut bisa jadi celah korupsi,” kata Dedi, di KPK, Jakarta, Jumat (23/11/2018).

Menurut Dedi, awal kecurigaan KPK yakni kapasitas FAME yang tidak sebanding dengan produksinya.

Pada 2017, kapasitas terpasang 12,05 juta kilo liter (KL), tapi yang sudah berkontrak dengan badan usaha BBM hanya 2,5 juta KL.

Selain itu, Kementerian ESDM tidak memiliki tim untuk mengecek ke lapangan kontrak-kontrak FAME.

Jadi, ini membuat celah bahwa kontrak-kontrak yang diajukan sebagai syarat untuk impor itu hanya fiktif alias di atas kertas.

Dari hasil wawancara dengan lima badan usaha BBM, KPK menemukan kebenaran adanya kontrak FAME yang hanya di atas kertas.

Namun, Dedi tidak mau merinci nama-nama perusahaan tersebut. 

Syarat impor Solar dengan mewajibkan lampiran kontrak FAME itu diatur dalam Standar Operasional Prosedur yang dikeluarkan Kementerian ESDM.

Adapun menurut Dedi, penyebab serapan B20 tidak optimal, karena masih ada pengecualian dari sejumlah sektor.

Di antaranya PT Freeport Indonesia dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena alasan teknis.

Dengan pengecualian terhadap sejumlah sektor itu, KPK merekomendasikan Direktorat Jenderal EBTKE agar melakukan revisi kebijakan implementasi FAME 20% dengan melakukan kajian kesiapan industri hilir.

“Regulator harus perbaiki penyebabnya,” kata Dedi.

Dedi mengatakan, dari hasil kajian KPK itu, EBTKE sudah memberikan respon dengan mengirimkan surat kepada KPK.

Baca: KPK Harap Kasus PT NKE Jadi Pembelajaran Bagi Korporasi Lain

Dalam hal ini Kementerian ESDM telah mengeluarkan aturan baru yakni Permen ESDM 48 Tahun 2018.

Aturan ini mengatur bahwa ada tim evaluasi yang akan memantau kontrak pengadaan FAME di lapangan untuk memastikan tidak ada kontrak FAME yang fiktif.

"Itu respons EBTKE ke kami," ujar Dedi.

Di tempat yang sama, Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK, Wawan Wardiana, mengatakan prosedur impor BBM selama ini juga berbelit.

"Ini karena impor BBM disamakan dengan komoditas lainnya," kata Wawan.

Dengan skema saat ini, dari perencanaan kuota impor hingga finalisasi catatan pembukuan impor memakan waktu 100 hari atau tiga bulan.

Menurut Wawan, seharusnya impor BBM bisa lebih singkat.

Misalnya jika butuh BBM untuk beberapa hari ke depan, maka sudah bisa mendapat persetujuan dari kementerian terkait dalam waktu cepat.

"Nyatanya untuk mendapatkan rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM butuh 38 hari kerja. Ini semakin membuat tidak efektif," ujar Wawan.

"Alhasil impor yang berbelit bisa memicu pasokan BBM yang terbatas sehingga menyebabkan kelangkaan," imbuhnya.

Untuk itu KPK merekomendasikan agar Ditjen Migas memberikan sistem perizinan daring.

"Tujuannya untuk mempercepat durasi penerbitan rekomendasi kerja menjadi 10 hari kerja," pungkas Wawan.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved