Minggu, 5 Oktober 2025

Pilpres 2019

Pembakaran Bendera di Garut Dikhawatirkan Jadi Konsumsi Politik Jelang Pemilu

Berdasarkan sejarah, ia menjelaskan ada dua versi bendera berkalimat tauhid dengan latar belakang putih dan hitam.

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Hasanudin Aco
Tribun Jabar/Firman Wijaksana
Tiga orang yang membakar bendera di Kecamatan Limbangan meminta maaf atas insiden yang terjadi saat peringatan Hari Santri Nasional di Mapolres Garut, Selasa (23/10/2018). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Wakil Ketua Umum MUI, Yunahar Ilyas, menyebut perspektif MUI menilai bendera yang dibakar bukanlah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Alasannya, pada bendera yang dibakar tidak terdapat simbol atau tulisan HTI.

"Dalam perspektif MUI karena itu tidak ada tulisan Hizbut Tahrir Indonesia, maka kita menganggap itu kalimat tauhid," ujar Yunahar, di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (23/10/2018).

Berdasarkan sejarah, ia menjelaskan ada dua versi bendera berkalimat tauhid dengan latar belakang putih dan hitam.

Baca: Pembakar Bendera di Garut Akhirnya Meminta Maaf kepada Masyarakat

Lantaran keduanya menjadi bagian dalam sejarah Islam yang mewakili umat Islam sedunia, maka ia mengatakan kurang tepat apabila bendera itu dijadikan bendera ormas.

"Mestinya ini tidak digunakan oleh satu kelompok, karena ini jadi milik umat Islam sedunia," jelasnya.

Eks Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto menegaskan bahwa HTI tidak pernah memiliki bendera seperti yang terlihat di dalam video.

Namun, dia mengaku kerap menggunakan bendera Ar-Rayah tersebut saat aksi-aksi yang pernah dilakukan HTI.

Perbedaannya, ada pada huruf I (Indonesia) dan logo itu tidak pernah dicetak menjadi bendera. "Jadi sudah jelas yang ada di video bukan bendera HTI," jelas dia kepada wartawan.

Kendati demikian, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) Wiranto meyakini tidak ada niat dari Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama untuk membakar bendera saat Hari Santri Nasional di Garut, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Untuk itu Wiranto menuturkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah meminta GP Ansor mengklarifikasi pembakaran bendera itu.

"Namun sesungguhnya sebagai ormas Islam tidak mungkin dengan sengaja membakar “Kalimat Tauhid” yang sama artinya melakukan penghinaan terhadap diri sendiri," kata Wiranto saat jumpa pers dikantornya.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menegaskan pihaknya akan melakukan pendalaman terhadap keterangan para saksi terkait peristiwa pembakaran bendera berkalimat Tauhid di Garut, pada Senin (22/10) kemarin.

"Ya nanti kan (dilakukan, - red) pendalaman keterangan-keterangan saksi, kemudian pada saat kejadian itu seperti apa," ujar Setyo, usai konferensi pers di Kantor MUI Pusat.

Setyo menegaskan pihaknya akan terus memproses kasus ini. Selain itu, ia juga mengatakan para penyidik akan menggali informasi lebih dalam untuk mengetahui motif pelaku melakukan aksi pembakaran bendera.

"Penyidik pasti mencari motif-motifnya. Tapi itu kan substansi ya. Pasti akan dicari motifnya kenapa dia (pelaku) membakar, harus diungkap tapi dalam pro justicia," jelasnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan tidak boleh ada bendera lain selain Merah Putih dalam acara tersebut, namun di lapangan, masih berkibar bendera yang menjadi viral tersebut.

"Jadi panitia sudah meminta tidak ada bendera lain selain benderra Indonesia. Tetapi ada satu bendera yang beda, bendera itu saja," katanya.

Disinggung soal pidana yang akan dikenakan, jenderal bintang dua ini mengaku masih melihat perkembangan kasus tersebut. Ia menilai masih harus melihat tindakan pelaku masuk ke dalam unsur yang mana.

"Ya nanti kita lihat dulu nanti masuk unsur-unsur yang mana. Apakah masuk di pasal 156, 156a atau tidak. Kegaduhan atau keonaran kan bisa saja membuat (termasuk) pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946," pungkasnya.

Caranya Salah

Insiden pembakaran bendera di Garut, Jawa Barat disayangkan sema pihak termasuk oleh Sekrtaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti.

Menurutmya, apabila hal itu dimaksudkan sebagai bentuk nasionalisme, seharusnya dilakukan secara santun dan tetap dalam bingkai akhlak yang luhut.

"Jika, yang mereka maksudkan adalah membakar bendera HTI, maka ekspresinya bisa dengan cara lain. Bagaimanapun yang dibakar itu bendera yang bertuliskan kalimat syahadat yang suci dan mulia. Kalau mereka melakukan pembakaran sebagai bentuk nasionalisme, aktualisasinya keliru" jelasnya dalam keterangan, Jakarta, Selasa (23/10).

Akan jauh lebih baik, oknum dari pihak organisasi yang melakukan pembakaran tersebut, cukup melakukan aksi simbolik menentang keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dirinyapun meminta kepada pihak organisasi untuk meminta maaf kepada publik atas tindakan tersebut.

"Ini harus menjaadi pembinaan agar masalah serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang," jelas dia.

Peneliti Setara Institute, Ahmad Fanani mengatakan cara yang dilakukan oleh ormas yang mengadakan acara tersebut, tidak tepat. Jika benar sasarannya HTI, tidak perlu sampai pada pembakaran.

"HTI sejauh yang saya lihat sebelum dibubarkan hanya pada tataran kebebasan berekspresi. Tidak sampai pada mengajak masyarakat untuk bertindak kekerasan. Sehingga, pembakaran ini salah. Meskipun, maksudnya mungkin benar. Itu pun juga bendera itu benar bendera milik HTI," ucapnya.

Lebih dari dia berpendapat, isu ini akan menjadi masif, apabila ada pihak-pihak yang memanfaatkan kejadian ini ke ranah politik. Baik masyarakat dan pemerintah diminta untuk menyerahkan proses hukum kepada pihak yang berwenang.

"Jangan sampai isu ini menjadi konsumsi politik orang-orang yang berkepentingan di Pemilu 2019," tegasnya. (ryo/tribunnews)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved