Selasa, 30 September 2025

UU MD3

4 DPC PMKRI Ajukan Uji Materi UU MD3 ke MK

Berkas permohonan uji materil (Judicial Review) UU MD3 terhadap UUD 1945 tersebut, telah dinyatakan lengkap

Editor: Johnson Simanjuntak
Ist
Dari kiri ke Kanan: Dionisius Sandy Tara (Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Jakarta barat), Bernardus Barat Daya, SH., MH. (Advokat, Kuasa Hukum), Heronimus Wardhana (Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Jakarta Timur), Prudensius Veto Meo (Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Selatan), Yohanes B. Bone (Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Timur) dan Wilibrodus Klaudius Bhira (Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Utara). 

UU MD3 yang memberikan kewenangan luar biasa kepada DPR, potensial dapat “memenjarakan” siapa pun yang melakukan kecaman atau kritikan yang dianggap (secara subjektif) merendahkan martabat DPR.

Sebab argumentasi ‘demi kehormatan dewan’ tak lebih sebagai dalih hipokrit yang tendensius, subjektif dan multitafsir.

UU MD3 juga dapat dijadikan “alat pemotong lidah rakyat”.

Padahal sejatinya DPR wajib mentaati semua peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan mentaati asas equality before the law.

Para insan pers (Wartawan), lembaga swadaya masyarakat (LSM), para aktivis organisasi kemasyarakatan (Ormas), serta siapa pun harus dapat secara leluasa memperoleh, mengolah dan memberitakan informasi itu secara bertanggung jawab.

Karena hak-hak tersebut merupakan hak konstitusional yang dijamin Konstitusi Negara.

Lebih lanjut menurutnya, tiga pasal UU MD3, berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.

Karena frasa “merendahkan kehormatan” itu bersifat relative, tentatif dan sangat subjektif.

Dan terminologi merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR itu, dapat diterapkan secara sewenang-wenang sesuai interpretasi subjektif atau sesuai kepentingan politik anggota DPR.

"Sangat mungkin terjadi, dimana ketika masyarakat melakukan kritikan atau menyampaikan aspirasi, atau memberitakan aktivitas DPR dan bentuk lain sebagai ungkapan pikiran rakyat terhadap DPR, akan dianggap merendahkan kehormatan dan oleh karenanya DPR dengan segala kewenangan yang luar biasa, dapat melakukan langkah hukum atau langkah politik untuk memproses terhadap orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dituduh merendahkan kehormatan DPR," jelasnya.

Kewenangan MKD DPR, juga berpotensi dapat menyeret siapa saja ke ranah hukum jika dianggap merendahkan martabat dan kehormatan DPR. Pasal itu tak ubahnya sebagai alat “pemotong lidah rakyat”.

Padahal kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.

Pers dalam UU telah dijamin haknya untuk; menegakkan nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, mengembangkan pendapat masyarakat, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran (UU Pers).

Terkait pasal 245 UU MD3, yang mengandung makna bahwa anggota DPR tidak dapat dipanggil oleh aparat hukum sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, dan setelah mendapat pertimbangan dari MKD.

Substansi pasal ini sebenarnya telah ‘dimatikan’ oleh MK, tetapi “dihidupkan kembali” oleh DPR.
Mengingat bahwa sebelumnya, MK telah membatalkan klausul “atas izin MKD”, sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 76/PPU-XII/2014, terkait pengujian Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014. Namun dalam pasal 245 UU MD3, masih tetap menggunakan klausul yang sama, walau kata “izin MKD” diganti dengan kata “pertimbangan MKD”.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan