UU MD3
Presiden Punya Alasan Kuat Menolak Tandatangani UU MD3
Sikap presiden yang tidak mau menandatangani lembar pengesahan UU MD3 menuai protes dari sejumlah kalangan terutama DPR.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Sejak pembahasan dan pengesahan Revisi UU MD3 hingga saat ini masih menuai kontroversi. Sikap presiden yang tidak mau menandatangani lembar pengesahan UU MD3 menuai protes dari sejumlah kalangan terutama DPR.
Namun tidak sedikit kalangan masyarakat yang justru mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang enggan menadatangani lembar UU MD3 hingga batas akhir 30 hari terhitung sejak undang undang tersebut disahkan DPR.
"Menurut saya wajar jika sikap presiden harus memilih berdiri bersama-sama rakyat. Sikap presiden memiliki alasan kuat atas penolakan menandatangani UU MD3 karena ada sejumlah pasal yang kontroversial yang akhirnya menimbulkan banyak protes dari berbagai komponen masyarakat," ujar Karyono Wibowo, Diektur The Indonesian Public Institute (IPI), Jumat (16/3/2018).
"Sikap Presiden Jokowi sudah tepat. Posisinya sebagai presiden kepala negara dan pemerintahan dia harus mengemban amanat rakyat. Dia menunjukkan sikapnya yang tegak lurus dalam mewujudkan aspirasi rakyat," tambahnya.
Terbukti, Karyono menegaskan kembali sikap presiden semakin jelas, menolak menandatangani UU MD3 versi DPR, meskipun pemerintah ikut serta dalam pembahasan revisi undang-undang UU MD3 tersebut.
Menurutnya, bukan berarti presiden harus mengikuti keinginan pihak politisi di parlemen yang berseberangan dengan rakyat.ejumlah tevisi UU MD3 yang mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan masyarakat ini bagi Presiden Jokowi, sambung Karyono ibarat buah simalakama.
"Jika ditandatangani rakyat yang marah jika tidak ditandatangani DPR yang marah dan yang pasti UU MD3 tetap berlaku. Sejumlah pasal kontroversial disisipkan dalam revisi UU MD3 ini analoginya adalah ibarat DPR melempar bola panas ke presiden," tegasnya.
"Tapi unrungnya bola api tersebut tidak ditangkap oleh presiden tapi didiamkan meski masih menyimpan bara,"tambahnya.
Beberapa pasal yang diubah dalam UU MD3 dan menuai kontroversi antara lain adalah Pasal 73. Revisi pasal ini berbunyi,"dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah. DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Artinya, telah terjadi perubahan kalau sebelumnya UU menyatakan polri sifatnya hanya membantu untuk memanggil pihak yang tidak hadir saat diperiksa DPR.Namun dengan adanya penambahan frase wajib dalam Pasal 73, DPR berharap tugas-tugasnya bisa berjalan lebih lancar," Karyono menegaskan.
UU MD3, lanjutnya lagi, memperbolehkan Kepolisian untuk menyandera selama 30 hari orang-orang yang tidak mau datang ke DPR. Pasal ini membuat lembaga DPR menjadi lembaga superbody dan garang.
Pasal yang membuat DPR lebih galak lagi adalah Pasal 122 huruf k yang mengatur tentang hak DPR dalam mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya.
Pasal 122 yang membuat DPR, melalui MKD, bisa mempidanakan orang-orang yang dianggap merendahkan DPR dan pribadi anggota DPR.
Pasal ini bisa berpotensi disalahgunakan meskipun DPR berdalih tujuan pasal ini untuk menjaga marwah dan kehormatan DPR sebagai lembaga tinggi negara dan pribadi anggota DPR sebagai pejabat negara.
Pasal ini menandakan kembali hidupnya pasal penghinaan peninggalan Belanda yang disebut Haatzaai Artikelen. "Dilihat dari sejarahnya, pasal itu berlaku untuk simbol negara.Pasal ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi, prinsip kedaulatan rakyat," sambungnya.
Prinsip perwakilan melalui pemilu, sebagaimana diatur konstitusi serta bertentangan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR itu sendiri.
Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana.Perubahan pasal ini menjadi mewajibkan pemeriksaan anggota DPR harus mendapat pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan mengantongi izin presiden.
"Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)," Karyono menjelaskan.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD, sehingga izin diberikan oleh presiden.Kini DPR mengganti izin MKD dengan frase "pertimbangan". Meskipun menggunakan frase pertimbangan, tetapi ada maksud terselubung untuk menghambat proses hukum bagi DPR.
Sejumlah pasal menurutnya, menimbulkan kecirigaan rakyat, DPR akan semakin imun terhadap masalah hukum.
Namun denikian, meskipun tak ditandatangani Presiden, secara hukum UU MD3 tetap berlaku, sesuai dengan ketentuan UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Kini bola panas bergeser sementara ke Mahkamah Konstitusi.
"Lembaga ini menjadi benteng terakhir bagi masyarakat yang mengajukan uji materi terhadap UU MD3 setelah undang-undang itu efektif berlaku. Menurut saya, permohonan uji materi ke MK ini menjadi salah satu cara yang paling cepat dan tepat bagi masyarakat," katanya.
MK tengah diuji komitmennya dan konsistensinya yang dulu pernah membatalkan klausi terkait pemeriksaan anggota DPR harus mendapat izin dari MKD.
Langkah lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk menganulir undang-undang ini yakni dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengoreksi pasal-pasal yang dinilai kontroversial oleh publik setelah UU MD3 disahkan dan diundangkan.
"Judicial review, merupakan pilihan yang paling tepat selain menerbitkan Perppu. Tapi masalahnya harus ada kondisi genting yang memaksa keluarnya Perppu," lanjutnya.
Selain itu, langkah lain yang dapat ditempuh yakni dengan mengajukan revisi terbatas terkait UU MD3 itu. Dalam hal ini diperlukan kebesaran jiwa dari pihak DPR.