Penyerangan Ulama Bisa Saja Dilakukan Seseorang di Bawah Pengaruh Hipnotis
Fenomena penyerangan ulama oleh seseorang yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, belakangan menjadi pertanyaan besar.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fenomena penyerangan ulama oleh seseorang yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, belakangan menjadi pertanyaan besar.
Terlebih, waktunya berbarengan dengan momen pilkada serentak 2018.
Catatan kepolisian mengungkapkan 21 kejadian penyerangan ulama selama Desember 2017-Februari 2018. 15 di antaranya dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Spesialis Kesehatan Jiwa, dr Fidiansjah mengungkapkan tidak bisa secara serta merta hal tersebut disimpulkan.
Pasalnya, seseorang dikatakan jiwanya terganggu harus melalui pemeriksaan yang intensif.
"Tidak bisa begitu saja dibilang mengalami gangguan jiwa. Harus dicek dulu secara intensif," ucapnya saat dihubungi Tribun, Jakarta, Jumat (23/2/2018).
Baca: Saya Harus Menentukan Calon Pemimpin, Saya Mau Tentukan Orangnya Kurus Kering
Menyikapi fenomena yang terjadi belakangan ini, menurut dia, bukan tidak mungkin dilakukan seseorang di bawah pengaruh hipnotis.
Alasannya, seseorang yang terpengaruh hipnotis akan melakukan sesuatu yang diminta jauh lebih cepat, dibanding memberi pengaruh terhadap orang dengan gangguan kejiwaan.
"Di ilmu kesehatan, orang bisa bertindak agresif secara cepat apabila orang tersebut terkena pengaruh hipnotis. Sebaliknya, akan memakan waktu yang tidak sebentar apabila harus mencuci otak orang yang mengalami gangguan jiwa," ungkap pria yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan itu.
Diakuinya, tidak semua orang bisa dihipnotis. Namun apabila sudah mendapat orang yang berpotensi, maka, pengaruh hipnotis akan berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat oleh penghipnotis.
Namun begitu, dia enggan berspekulasi lebih jauh mengenai siapa pelaku penyerangan ulama yang terjadi belakangan ini.
Kata dia, pihak kepolisian setidaknya, dapat membuat kerja sama dengan pihak perkumpulan ahli kejiwaan atau dengan perkumpulan psikiater untuk memastikan kondisi kejiwaan pelaku.
Sejauh ini, hanya beberapa kasus yang sempat ditangani oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Sementara untuk kasus lainnya, tidak sempat bekerja sama.
"Kalau beberapa kasus yang langsung dinyatakan "orang gila" cepat itu, tidak kerja sama. Tapi, ada juga kasus yang kerja sama dengan kami," tandasnya.