Rabu, 1 Oktober 2025

Pengamat Nilai Tidak Ada Yang Berubah Dalam Revisi Pasal 73 UU MD3

Said mengatakan Pasal 73 UU MD3 sebelumnya terdiri dari lima ayat dan setelah direvisi jumlahnya bertambah menjadi tujuh ayat.

Editor: Johnson Simanjuntak
Tribunnews.com/Fitri Wulandari
Rapat paripurna pengesahan RUU MD3 yang digelar di ruang paripurna DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga pasal revisi undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3), yaitu Pasal 73, 122 dan 245 yang menuai sorotan publik penting diteliti agar masyarakat dapat memahami persoalan secara lebih jernih dan tidak gegabah dalam merespons isu tersebut.

Kali ini pengamat Politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin akan membedah pasal 73 dari UU MD3 yang baru disahkan DPR RI.

Said mengatakan Pasal 73 UU MD3 sebelumnya terdiri dari lima ayat dan setelah direvisi jumlahnya bertambah menjadi tujuh ayat.

Jika diperinci, Said menjelaskan, revisi itu meliputi pengubahan bunyi dua ayat, yaitu ayat (5) dan ayat (6), serta penambahan satu ayat baru, yaitu ayat (7).

"Kalau kita periksa secara lebih teliti revisi atas Pasal 73 ini, secara substantif sebetulnya tidak ada yang berubah," ujar Said kepada Tribunnews.com, Rabu (14/2/2018).

Baca: Wapres Terima 4 Kepala Kepolisian Negara ASEAN yang Dapat Bintang Bhayangkara Utama

Karena dia melihat, substansinya tetap sama dengan bunyi norma sebelum ayat ini direvisi.

Yang baru muncul dari revisi, menurutnya, hanyalah terkait adanya penegasan atas ketentuan yang belum jelas pengaturannya.

Pada ketentuan ayat (5), misalnya, dia menjelaskan, revisi sebetulnya hanya terkait dengan prosedur atau tata cara pemanggilan paksa terhadap badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melayangkan panggilan sebanyak lebih dari tiga kali.

Sedangkan sebelum revisi, imbuhnya, tidak diatur bagaimana cara bagi DPR untuk meminta Polri memanggil paksa badan hukum dan/atau masyarakat yang mangkir dari panggilan Dewan.

Nah, lanjut dia, setelah direvisi, barulah diatur cara pemanggilan paksa itu, yakni DPR harus terlebih dahulu mengirimkan surat tertulis kepada Kapolri dan Kapolri diminta memerintahkan Kapolda untuk melaksanakan pemanggilan dimaksud.

"Jadi soal "pemanggilan paksa" yang diributkan orang sekarang ini sebetulnya bukan barang baru, sebab ketentuan itu sudah ada sejak UU MD3 disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014," katanya.

"Artinya ketentuan itu sudah berlaku sejak 3,5 tahun lalu," ujarnya.

Demikian pula dengan revisi ketentuan ayat (6) soal sanksi penyanderaan bagi badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melakukan panggilan paksa.

Ini pun bukan norma baru, menurutnya. Sudah 3,5 tahun ketentuan itu berlaku sebagai hukum positif.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved