Minggu, 5 Oktober 2025

Kaleidoskop 2017

Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM, Jokowi Jangan Melempem!

Bentangan payung hitam merupakan bentuk upaya para keluarga korban menuntun penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti aksi Kamisan ke-505 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/9/2017). Dalam aksinya selain meminta pemerintah serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu, juga untuk memperingati 13 tahun dibunuhnya Munir Said Thalib. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saban hari Kamis sejak 18 Januari 2007, belasan bahkan puluhan orang selalu membentangkan 'payung hitam' di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.

Bentangan payung hitam merupakan bentuk upaya para keluarga korban menuntun penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Mereka menyebut aksi tersebut dengan sebutan 'Aksi Diam'.

Tepat dipengujung tahun 2017 atau aksi Kamisan ke-519, Tribunnews pada Kamis (21/12/2017) mencoba menemui para keluarga korban yang masih 'setia' menagih janji pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Para korban yang terdiri dari para Ibu dan kaum muda itu terus menyuarakan keadilan.

"Hidup Korban, Jangan Diam, Jangan Diam, Lawan," seru para keluarga korban dengan kepalan tangan kiri keatas kepala. Kata-kata tersebut itu pula tak pernah kedur sejak Joko Widodo menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Tak hanya aksi diam dan bentangan payung hitam, Aksi Kamisan ini juga membawa beberapa atribut lain seperti foto-foto para korban pelanggaran HAM dan sebuah sepanduk bertuliskan 'Jokowi Jangan Melempem !'. Kata-kata dalam sepandung berukuran 3x1 meter tersebut sesuai dengan apa yang terjadi saat ini. Dimana, Presiden Jokowi masih menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM sebagai Pekerjaan Rumah (PR) Pemerintah.

"Saya menyadari masih banyak pekerjaan besar, pekerjaan rumah perihal penegakan HAM yang belum bisa tuntas diselesaikan, termasuk di dalamnya pelanggaran HAM," kata Presiden Joko Widodo dalam acara peringatan hari HAM Sedunia ke-69 di Solo, Jawa Tengah pada Minggu (10/12/2017).

Menaggapi peryataan Presiden Jokowi, Maria Katarina Sumarsih atau akrab dipanggil Ibu Sumarsih yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan justru menayakanan balik peryataan Presiden Jokowi tersebut. "Kapan PR itu akan mulai dikerjakan pertanyakan seperti itu," tanya Sumarsih.

Baca: Bukan Pengedar dan Dianggap Hanya Pemakai Narkoba, Tio Pakusadewo Akan Direhabilitasi

Sumarsih merupakan orang tua dari BR Norman Irmawan, Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas dalam tragedi Semanggi 1 pada 13 November 1998.

Ditemui saat menggelar aksi kamisan pekan lalu, Sumarsi yang tampak mengenakan kaos hitam bergambar putranya wawan (panggilan akrab BR Norman Irmawan) terus menyerukan untuk menagih janji Presiden Jokowi yang akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Ia mengatakan bahwa penyelesain kasus pelangaraan HAM saat ini justru semakin 'melempem'. Pasalnya, kata Sumarsih, Presiden Jokowi mulai melupakan janji-janji kampanyenya pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebagai prioritas.

"dalam butir FF menyatakan, Kami berkomitmen menyesuaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di butir GG, Kami berkomitmen menghapus imunitas. tetapi mana?," kata Sumarsih.

Dia juga sangat menyangkan dan menyesalkan soal pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam) oleh Presiden Jokowi. Dia menilai, Wiranto orang yang diduga dan harus bertanggung jawab dalam penembakan mahasiswa baik dalam kasus Semanggi 1, Semanggi 2 dan Tragedi Trisakti pada tahun 1998.

"justru pengangkatan Pak Wiranto ini penghinaan bagi kami keluarga korban terutama setiap hari Kamis yang terus mengadakan aksi damai. ini penghinaan," tegas Sumarsih.

PR Yang Belum Naik Kelas

Anggota Amnesty Internasional Indonesia, Puri Kencana Putri menilai bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih menjadi PR pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dia juga menyebut bahwa pernyataan Presiden Jokowi saat memperingati hari HAM pada 10 Desember lalu menunjukkan bahwa kasus pelanggaran HAM di Indonesia itu masih ada.

Hal itu, kata Puri, menunjukkan sentimen kepada keluarga korban bahwa presiden akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Namun, nyatanya saat ini penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih sebatas folderisasi (memfolder-folderkan). Bahkan folderisasi tersebut belum naik kelas.

Baca: Sepekan PKL Diberi Lapak oleh Pemprov DKI, Warga: Gak Dikasih Aja Macet, Apalagi Sekarang

"hari ini, baru di folderisasi baru masuk folder sebagai PR yang belum naik kelas," terang Puri Kencana.

Puri menjelaskan, pemfolderan yang belum naik kelas yang dimaksut yakni pemerintah belum melalukan upaya serius untuk menyelesakan kasus pelanggaran HAM. Bahkan, Puri menduga menjelang Pilkada dan Pilpres mendatang, kasus pelanggaran HAM akan tertutup.

"PR pelanggaran HAM naik kelas dalam arti mungkin ada penyelidikannya, mungkin ada pengadilan HAM nya, mungkin ada bentuk keadilan-nya, itu kayaknya pintunya tertutup aja," papar Puri.

Selain itu, hasil pengamatan Amnesty Internasional Indonesia selama satu tahun belakangan, menduga program prioritas pemerintah seperti pembangunan, ultranasionalisme dan moralitas justru akan membuat penyelesaian pelanggaran HAM semakin tertunda.

"Amnesty selama setahun ini sudah kita sampaikan ada tiga prioritas utama yang dilakukan pemerintah tetapi seakan menimbun, menutupi prioritas hak asasi manusia termasuk PR pelanggaran HAM masa lalu," kata Puri.

Seharusnya, kata Puri, Pemerintahan sekarang punya modal besar untuk menyelesaikan PR tersebut. Terlebih, saat ini Pemerintah mendapat dukungan publik terhadap figur pemerintahan saat ini.

"Pemerintah selalu berdalih kasus-kasus pelanggaran HAM yang tertunda ini sebagai pekerjaan rumah, padahal sebenarnya kalau kita melihat modalitas pemerintahan hari ini cukup besar termasuk juga dukungan publik terhadap figur pemerintahan hari ini juga bisa dimanfaatkan dalam arti untuk mendorong kualitas HAM yang lebih baik," papar Puri.

Jalan Ditempat

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu terus diupayakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Bahkan, Komnas HAM telah memasukan berkas berupa bukti-bukti terkait pelanggaran HAM berat masa lalu ke Pemerintah memalui Kejaksaan Agung.

Namun, menurut Kordinator Sub Komisi Kajian HAM, Beka Ilung Hapsara berkas tersebut mandek di Kejaksaan Agung. Mandeknya berkas tersebut, menurut Beka, Kejaksaan Agung enggan melakukan lanjutan berkas Komnas HAM karena adanya perbedaan emplememtasi penyebutan nama serta kewenangnan peyelesaian kasus tersebut.

"Komnas HAM sampai saat ini sudah merampungkan berkas-berkas penyelidikan untuk tujuh kasus pelanggaran HAM berat dan itu sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk disidik. Tetapi, dari Kejaksaan Agung masih memandang bawa berkas dari Komnas HAM itu belum layak untuk ditindaklanjuti karena ada perbedaan emplemantasi misalnya penyebutan nama menjadi Komnas atau Kejaksaan Agung," kata Beka Ilung Hapsara.

Berkas-berkas yang dimaksut yakni tragedi kemanusiaan 65, tragedi Talangsari, penculikan para aktivis, tragedi Mei 98, tragedi Trisakti, tragedi Semanggi 1, Semanggi 2 dan kasus Wasior Wamena.

Beka juga menyebut, sampai saat ini berkas kasus pelanggaran HAM masih mandek di Kejaksaan Agung. Namun, dari hasil rapat kordinasi pihalnya terus mendoring agar Kejaksaan Agung segera melakukan penyidikan atas berkas-berkas tersebut.

Beka juga menyinggung soal peryataan Presiden Jokowi tentang peringatan hari HAM Nasional. Dia menilai bahwa peryataan tersebut terus diulang setiap tahunnya. Bahkan dia mencatat semenjang menjadi Presiden, peryataan tersebut selalu di ilang di tahun 2015, 2016 dan kemarin 2017.

Justru, peryataan yang berupang tersebut, menurut Beka, sehatusnya dibuktikan saja dengan kerja Pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

"Presiden harus buktikan dengan langkah-langkah yang nyata dan terukur apa yang menjadi statement dalam peringatan Hari HAM nasional baik di tahun 2017, 2016 dan 2015 karena daei tiga tahun itu presiden selalu berbicara yang sama. Kemudian pemerintahan Jokowi Jusuf Kalla punya PR tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat itu artinya komitmen tersebut harus dijalankan dan langkah-langkah yang terukur sehingga bisa diketahui oleh publik bahwa memang ada kemajuan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat," papar Beka Ilung Hapsara.

Komnas HAM juga mencermati soal pembangunan infrastruktur yang terus di genjot oleh Presiden Jokowi. Terlebih, tahun 2018 dan 2019 memasuki tahun politik dimana pembangunan akan semakin didorong percepatannya.

Untuk itu, Komnas HAM berharap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus meminimalisir potensi perlanggaranan HAM berat baru seperti kasus pembangunan jalan Bandara Kulon Progo, Yogyakarta.

"memasuki tahun politik 2018-2019 ini, pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digenjot oleh Pemerintahan Jokowi-JK itu harus meminimalisir terjadinya potensinya pelanggaran HAM berat artinya tidak hanya kasus penggusuran segala macam nya itu harus dihilangkan karena masih banyak sekali penyelesaian," terangnya.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat ada 163 kasus penyiksaan pada 2016–2017. Sementara itu, pada kurun Januari hingga Oktober 2017 terjadi 84 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh personel kepolisian.

Masih dalam periode yang sama, sebanyak 29 kasus pelanggaran HAM terjadi, yang dilakukan oleh TNI. Selain itu, ada pula temuan 19 kasus penyiksaan yang dilakukan petugas lembaga pemasyarakatan.

Dalam setahun terakhir, Kontras juga mencatat ada 107 peristiwa penggunaan senjata api yang melanggar prosedur. Akibatnya, 106 orang meninggal dan 36 orang lainnya luka-luka. Selain itu, Kontras menyoroti sepanjang 2017, warga yang paling rentan menjadi korban penyiksaan berusia 15–25 tahun.

Beberapa kasus yang terindikasi adanya pelanggaran HAM seperti yang kasus kematian terduga teroris Siyono di Klaten. Selainn itu ada pula kasus Indra Pelani (Jambi), Kematian aktivis lingkungan Salim Kancil serta perjuangan ibu-ibu petani pegunungan Kendeng Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen di dekat sumber penghidupannya.

Selain itu, kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswesan, kasus kematian aktivis munir dll.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved