Korupsi KTP Elektronik
Gugatan Setya Novanto Gugur, Pimpinan KPK: Alhamdulilah
Laode M Syarif juga meminta semua pihak untuk menghormati putusan itu dan perkara pokok bisa terus dilanjutkan di Pengadilan Tipikor.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Kusno yang memimpin jalannya sidang praperadilan jilid II, yang diajukan Setya Novanto melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menggugurkan praperadilan atas penetapan status tersangka di kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Menyikapi ini, lima pimpinan KPK langsung mengapresiasi dan sujud syukur.
Hal ini turut diakui oleh Wakil Pimpinan KPK, Laode M Syarif yang memantau jalannya sidang praperadilan dari jauh.
"Alhamdulilah," ucap Laode M Syarif saat ditanya soal respon gugurnya praperadilan jilid II Setya Novanto dalam pesan singkat, Kamis (14/12/2017).
Atas gugurnya praperadilan tersebut, Laode M Syarif juga meminta semua pihak untuk menghormati putusan itu dan perkara pokok bisa terus dilanjutkan di Pengadilan Tipikor.
Baca: Mengapa Hakim Kesampingkan Keluhan Sakit Diare Setya Novanto?
Menangnya KPK dalam praperadilan itu, lanjut Laode M Syarif membuktikan bahwa memang penetapan tersangka yang dilakukan KPK sudah sesuai dengan aturan dan sah sesuai dasar hukum.
Terpisah, Tim penasehat hukum Setya Novanto, Nana Suryana juga menyatakan menghormati putusan Hakim Kusno yang mengugurkan praperadilan jilid II yang diajukan kliennya.
"Jadi proses sudah berlangsung, hakim sudah memutuskan, apapun putusan dari hakim kami hargai dan hormati. Kami harus bisa menerima karena peraturan hukum demikian," ujar penasehat hukum Setya Novanto, Nana Suryana, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (14/12/2017).
Diketahui, Hakim Kusno mengugurkan praperadilan atas penetapan status tersangka Setya Novanto itu karena sidang kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP sudah masuk ke tahap pembacaan surat dakwaan.
Artinya, pemeriksaan pokok perkara sudah mulai dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Berkaca dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 102/PUU-XIII/2015, maka praperadilan itu gugur begitu majelis hakim mengetok palu tanda sidang perdana kasus dugaan korupsi e-KTP dibuka.
Adapun putusan MK yang dimaksud tersebut berbunyi: Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa suatu perkara sudah mulai diperiksa tidak dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.
"Jadi sesuai yang disampaikan hakim praperadilan kemarin bahwa hari ini disampaikan putusan memang dan secara nyata dan fakta pokok perkara sudang mulai disidangkan di pengadilan tipikor, maka mengacu pasal 82 ayat 1 huruf d dikaitkan putusan MK 102/2015, putusan ini menjadi gugur karena pokok perkara sudah diperiksa di pengadilan tipikor," ujarnya.
Sementara itu mengenai tidak diajukannya kesimpulan di sidang praperadilan itu, kata dia, kesimpulan bukan merupakan sesuatu yang wajib. Apalagi, dia menilai, hakim Kusno tidak akan menjadikan sebagai bahan pertimbangan.
"Iya, sebetulnya mau ajukan, tetapi setelah kami timbang melihat juga tidak jadi bahan pertimbangan hakim, terpaksa tidak kami ajukan," katanya.