Gubernur DKI Jakarta
Ucapan Anies Soal Pribumi Dapat Membentuk Polarisasi di Masyarakat
Pernyataan Anies Baswedan soal pribumi dalam pidato politiknya setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Senin (16/10/2017) dinilai kurang tepat
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Anies Baswedan soal "pribumi" dalam pidato politiknya setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Senin (16/10/2017) dinilai kurang tepat.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hery Haryanto Azumi, mengatakan penyebutan kata pribumi dan non-pribumi dalam pidato politik itu dapat memunculkan polarisasi baru.
Baca: Pepatah Batak Hingga Banjar Dalam Pidato Anies
"Sudah tidak tepat kita sekarang bicara politik pribumi dan non-pribumi. Sudah ada aturannya. Malah bisa mendatangkan polarisasi baru ungkapan itu," tutur pria yang juga Sekjen Pengurus Besar Mejelis Dzikir Hubbul Wathon (PB-MD Hubbul Wathon), Selasa (17/10/2017).
Dia menegaskan, larangan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi sudah tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah.
Baca: Mengaku Sudah Bertanya Kepada Jokowi, Sandiaga Lepas Pakaian Dinas Hingga Sepatu
Selain mengkotak-kotakan antara pribumi dan non-pribumi, pernyataan itu, menurut Ketua Umum PB PMII 2005-2008 itu, dapat menimbulkan spekulasi tafsir yang negatif terhadap pasangan Anies-Sandi.
Padahal, setelah resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, tugas pasangan Anies-Sandi ada dua, yakni menyatukan kembali warga DKI Jakarta yang pernah “terbelah” akibat beda pilihan politik saat pilkada, dan bekerja keras merealisasikan janji-janji politik saat kampanye.
“Spekulasi tafsir negatif bisa muncul jika seorang pejabat negara masih mengkotak-kotakan antara pribumi dan non-pribumi. Kan semua WNI itu pribumi,” kata dia.
Dalam pandangan Hery, seorang pemimpin itu negarawan.
Baca: Ahmad Dhani: Jadi Gubernur DKI Itu Gampang!
Seorang negarawan berarti melakukan tindak-tanduk atas dasar sebuah pengabdian untuk negara.
Karena itu, seorang pemimpin harus memposisikan diri sebagai “sang pengayom” bagi semua warga, yakni tidak membeda-bedakan atas dasar apapun, baik itu agama, ras, warna kulit ataupun golongan.
“Pemimpin itu negarawan. Negarawan itu sang pengayom semua golongan. Prinsip ini tak boleh dilanggar oleh pejabat negara di level manapun, baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Baik pejabat nasional ataupun lokal,” tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, Anies Baswedan dalam pidato politik pertamanya sebagai Gubernur DKI Jakarta mengatakan bahwa Jakarta merupakan satu dari beberapa tempat yang merasakan hadirnya penjajahan.
Baca: Dituding Menghina Persidangan, Buni Yani Terancam Dilaporkan Jaksa Penutut Umum ke Polisi
Selama itu, menurutnya rakyat pribumi ditindas.
"Selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan kolonialisme," kata Anies dalam pidatonya di Balaikota, Senin, (16/10/2017).
Menurut Anies sekarang ini Indonesia telah merdeka. Sehingga, saatnya Rakyat Pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Namun pidato tersebut memancing pro-kontra. Netizen menyebut ucapan Anies soal 'pribumi' bernada menyindir.
Dikutip dari sumber resmi dari kepustakaan Kepresidenan Republik Indonesia, ada Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tegas-tegas berjudul: “Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggara Pemerintah.
Di suatu kesempatan, Anies Baswedan menjelaskan maksud penyebutan kata-kata pribumi.
Menurut dia, penulisan teks pidato itu berkaca pada situasi di DKI Jakarta pada zaman penjajahan Belanda.
"Itu pada konteks pada era penjajahan karena saya menulisnya juga pada zaman penjajahan dulu karena Jakarta itu kota yang paling merasakan," tutur Anies, kepada wartawan, Selasa (17/10/2017).
"Kota-kota lain itu kita lihat Belanda dekat yang lihat Belanda dekat siapa. Orang-orang Indonesia coba, kita lihat di pelosok-pelosok Indonesia tahu ada Belanda, tetapi lihat di depan mata? Tidak. Yang lihat depan mata itu kita Jakarta," lanjut dia.
Dia menegaskan pidato itu menggambarkan mengenai sejarah DKI Jakarta.
"Pokoknya itu digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda, karena itu memang kalimatnya disitu kan pelintiran, satu-dua website," tambahnya.