Sabtu, 4 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

Cium Kejanggalan, ICW: Publik Harus Antisipasi Hakim Menangkan Praperadilan Setya Novanto

"Publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan tersebut oleh Hakim Tunggal, Cepi Iskandar,"

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Wahyu Aji
Ketua DPR Setya Novanto 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai publik harus mengantisipasi kemungkinan besar Hakim Tunggal, Cepi Iskandar mengabulkan permohonan Setya Novanto dalam putusan Praperadilan, Jumat (29/9/2017).

Selama proses persidangan praperadilan yang dimulai 12 September 2017, KPK sudah kooperatif menghadirkan 193 bukti untuk menguatkan dasar penetapan Novanto sebagai tersangka.

Selain itu, KPK pun sudah menghadirkan sejumlah ahli baik di bidang hukum maupun teknologi informasi dalam persidangan.

"Publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan tersebut oleh Hakim Tunggal, Cepi Iskandar," ujar Peneliti ICW, Lalola Easter melalui keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com, Jumat (29/9/2017).

Baca: Usai Periksa Sang Keponakan, KPK Berencana Periksa Setya Novanto Sebagai Tersangka

Berdasar pemantauan ICW, ada sejumlah kejanggalan dari seluruh proses persidangan yang berlangsung selama satu pekan ini.

Diantaranya, ketika Hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Setya Novanto dalam korupsi e-KTP.

Saat sidang praperadilan Rabu (27/9/2017), Hakim menolak memutar rekaman KPK sebagai bukti keterlibatan Setya Novanto dalam korupsi e-KTP.

Baca: Pengamat Nilai Figur Bambang Soesatyo Layak Gantikan Setya Novanto

Penolakan Hakim ini sangat janggal.

Karena Hakim berpandangan bahwa pemutaran rekaman tersebut sudah masuk pokok perkara.

Padahal rekaman pembicaraan tersebut adalah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan Setya Novanto dalam perkara korupsi e-KTP.

Lola menegaskan, dengan dasar rekaman tersebut, KPK menetapkannya sebagai satu bukti yang dibarengi dengan 193 bukti lainnya, untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

Baca: Tak Ada Jaminan Elektabilitas Golkar Pulih Dengan Lengsernya Setya Novanto

Di sisi lain, Hakim Cepi Iskandar justru membuka ruang pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian keterpenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menjadi satu dalil permohonan praperadilan Setya Novanto.

"Padahal, pembuktian keterpenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sudah masuk pada pembuktian pokok perkara, dan tidak sepatutnya disidangkan lewat mekanisme praperadilan," katanya.

Baca: Dedi Mulyadi: Setya Novanto Sedang Sakit Jantung, Kok Sempat-sempatnya Mikirin Rekomendasi

Bukan itu saja, menurut ICW hal lain, ketika Hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK, Rabu (27/9/2017).

Saat itu Hakim Cepi Iskandar menolak Ahli Teknologi Informasi Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin sebagai ahli dalam persidangan praperadilan.

Alasan Hakim Cepi menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli karena materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk pokok perkara pembuktian korupsi e-KTP.

Di saat yang sama, Bob Hardian sudah memberikan keterangan tertulis dalam proses penyidikan korupsi e-KTP.

"Ahli dihadirkan untuk memberi kesaksian terkait dengan temuannya dalam evaluasi sistem teknologi informasi KTP-El. Namun, hakim menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli, dan dengan demikian menunda pemberian keterangannya," jelasnya.

Kejanggalan lainnya, Hakim menolak eksepsi KPK.

Hakim Cepi Iskandar menolak eksepsi KPK yang disampaikan, Jumat (22/9/2017).

Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan dua hal yang menjadi keberatannya yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan Setya Novanto yang sudah memasuki substansi pokok perkara.

Keabsahan dan konstitusionalitas penyelidik dan penyidik independen KPK sudah ditegaskan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015.

Namun hal tersebut tidak dipertimbangkan Hakim.

Padahal putusan tersebut mengikat sebagai norma hukum atas peraturan perundang-undangannya yang diuji materilkan.

Selain itu, Hakim Cepi Iskandar juga mengabaikan keterangan KPK yang menyebutkan bahwa dalil permohonan Setya Novanto sudah masuk dalam pokok perkara.

Setya Novanto menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

"Logika yang sama tidak muncul ketika KPK mengajukan permohonan untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan, yang menguatkan dalil keabsahan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka," katanya.

Selain itu, kejanggalan lainnya adalah Hakim mengabaikan permohonan Intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Dalam sidang praperadilan Jumat (22/9/2017), Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI).

Pengabaian tersebut menurut ICW, dilakukan dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September 2017.

Gugatan intervensi tersebut sejatinya menguatkan posisi KPK.

Namun, akhirnya tidak diperhitungkan Hakim, padahal permohonan sudah didaftarkan sebelum sidang pertama dilakukan pada 12 September 2017.

Kejanggalan berikutnya, Hakim bertanya kepada Ahli KPK tentang sifat ad hoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan.

Dalam mendengar keterangan dari ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, Hakim bertanya mengenai sifat ad hoc lembaga KPK.

Padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut.

"Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya, sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut, patut dipertanyakan," kata dia.

Bahkan kejanggalan lainnya adalah laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan.

Kuasa Hukum Setya Novanto membawa sejumlah bukti satu diantaranya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang.

Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BPK.

Dibuka Di Sidang Tipikor

Meski sempat menyayangkan perihal rekaman percakapan Setya Novanto yang batal dibuka di sidang praperadilan beberapa waktu lalu.

Dimana dari rekaman itu, KPK akhirnya berani menetapkan Ketua DPR RI tersebut sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP.

Menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah ada waktu yang lebih tepat untuk memutar rekaman itu yakni di sidang pokok di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Febri meyakini rekaman tersebut nantinya tidak akan menjadi alat bukti yang sia-sia belaka.

‎"Rekaman itu isinya pembicaraan pihak-pihak yang punya peran dalam e-KTP, di sana dibicarakan bagaimana pengaturan dilakukan. Namun kami belum bisa menyampaikan apa isi spesifik dari rekaman tersebut karena kemarin juga tidak bisa diputar di praperadilan. Nanti di persidangan pokok akan kita sampaikan," tutur Febri, Jumat (29/9/2017).

Febri melanjutkan nantinya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pihaknya akan membeberkan bukti yang mengungkap peran Setya Novanto‎.

"‎Kami punya bukti yang lebih lengkap dibandingkan lebih dari 200 dokumen yang kita sampaikan kemarin, Ahli yang kami hadirkan, dan bukti rekaman tersebut. Akan banyak bukti lain yang dapat disampaikan di persidangan perkara pokok," terangnya.

Atas putusan sidang praperadilan yang akan dibacakan sore nanti, Febri berharap hakim bisa memutus dengan seadil-adilnya dan memberikan sumbangsih penguatan dalam pengusutan kasus korupsi e-KTP.

Ini karena KPK meyakini masih banyak pihak lain yang harus bertanggung jawab dalam korupsi e-KTP namun sejauh ini penyidik baru menetapkan enam tersangka.

"‎Kami kan baru menetapkan tersangka sekitar 6 orang. Ada sejumlah pihak lain yang terus kami dalami indikasi peranannya. Jadi kami harap bisa diputus seadil-adilnya," kata Febri.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved