Komnas HAM Perlu Didesain Ulang
Jimmy Asshiddiqie mengatakan bahwa salah satu poin utama reformasi adalah soal hak asasi manusia
“Lalu yang paling berat – tidak semua orang ingin ruangan kotor dibersihkan,” katanya.
Kondisi ini katanya, sedikit banyak mewakili apa yang dirasakan TIFA dan juga kelompok masyarakat sipil atas perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ada sebuah kesetimbangan yang rapuh antara harapan dan kekecewaan.
Oleh karena itu, Tifa mendukung muncul ikhtiar dari Koalisi Selamatkan Komnas HAM untuk melakukan penelusuran rekam jejak atas kandidat komisoner dan terus mengawal proses seleksi hingga sampai ke DPR.
“Jurnalis dan media sendiri punya potensi dan peran yang signifikan untuk memperkuat kontrol publik serta membuat proses yang berlangsung menjadi lebih transparan dan akuntabel,” katanya.
Totok yulianto, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) yang juga anggota Koalisi Selamatkan Komnas HAM menilai, saat ini, peran Komnas HAM mengalami degradasi dari periode sebelumnya.
Ini mendorong pihaknya untuk melihat apa akar dari permasalahannya.
“Kami melakukan inisiatif untuk melakukan investigasi terhadap para calon anggota komisioner Komnas HAM. Pengumpulan data yang dilakukan melalui, observasi, wawancara, dan deskreview (media massa, dialog publik, dokumen yang berkaitan),” kata Yulianto.
Keberadaan Komnas HAM sebagai institusi negara mestinya mampu memastikan terciptanya kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan, perlindungan, dan penegakan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. “Keberadaan publik serta asosiasi jurnalis bisa ikut memainkan peran kunci dalam mendukung masyarakat sipil mengawal proses seleksi hingga terpilihnya komisioner Komnas HAM,” katanya.
Meski telah terseleksi menjadi 28 nama, Koalisi Selamatkan Komnas HAM kata Totok, masih memberi masukan kepada pansel terkait beberapa nama agar diperdalam lagi. Masih ada catatan-catatan terkait afiliasi politik kandidat dan juga terkait perspektif penegakan hamnya.
Menanggapi itu, Jimly menegaskan, pansel akan meminggirkan keterwakilan-keterwakilan dalam seleksi. Yang dikedepankan adalah perspektif HAM, bukan politik.
“Di DPR nanti akan menjadi proses politik, biarkan saja. Harus diterima itu sebagai kenyataan, tapi pansel tidak akan mengikuti logika itu,” katanya.
Jimly Asshiddiqie menegaskan, Pansel mencari calon komisioner dengan pemahaman tentang HAM yang baik, terkait kapasitas kemampuan manajerial yang baik, kompentensi perpektif HAM, integritas, serta independensi yang terbebas dari jeratan partai politik.
Harry Wibowo, pegiat HAM berpendapat, ada banyak tugas berat bagi komisoner yang baru. Setidaknya ada 10 kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM dalam periode setelah 1999 sampai dengan sekarang.
Dari catatan tersebut, 7 kasus di antaranya merupakan kasus yang sangat krusial, yakni Holocaust 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penghilangan Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, serta tragedi Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999.
“Kita perlu ada upaya yang sifatnya politis, yakni mendesak pemerintah untuk menyelesaikan 7 kasus tersebut. Harus ada alasan pemerintah dan Komnas HAM yang menjadi bagian dari ungkapan kebenaran”.
Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM yang cenderung tertutup, dinilai harus dibuka kepada publik. Baik Komnas HAM dan pemerintah harusnya melaporkan kepada masyarakat terkait perkembangan terhadap kasus-kasus tersebut.