Jumat, 3 Oktober 2025

Polri Didorong DPR Bentuk 'Densus Pemberantasan Korupsi'

Di antara anggota Komisi III dan Kapolri sempat terjadi perdebatan mengenai nama badan ini sebelum diputuskan dalam kesimpulan.

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
zoom-inlihat foto Polri Didorong DPR Bentuk 'Densus Pemberantasan Korupsi'
dkm
ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pembentukan Detasemen Khusus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri menjadi salah satu poin hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan jajaran di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/5/2017).

"Komisi III DPR RI mendorong Polri untuk segera membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi, dengan anggaran dan kewenangan khusus," kata Wakil Ketua Komisi III dari Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa, selaku pimpinan rapat saat membacakan poin kesimpulan rapat.

Di antara anggota Komisi III dan Kapolri sempat terjadi perdebatan mengenai nama badan ini sebelum diputuskan dalam kesimpulan.

Kapolri sempat mengusulkan nama badan setingkat Korps yang dipimpin jenderal bintang dua. Sementara, pihak Komisi III mengusulkan nama badan seperti Densus 88 Antiteror Polri. "Jangan Densus Anti-Pemberantasan Korupsi, jadi salah. Pakai Densus 99 aja," seloroh Wakil Ketua Komisi III, Bambang Soesatyo.

Dorongan pembentukan "Densus Pemberantasan Korupsi" dari Komisi III tersebut muncul setelah Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendapat sejumlah kritikan dari anggota Komisi III tentang belum efektif dan efisiennya Polri dalam penanganan kasus korupsi.

Tito mereapon kritik tersebut dengan memberikan penjelasan tentang adanya sejumlah kendala sehingga lembaganya belum efektif dan efisien atau maksimal dalam penanganan kasus korupsi. Tito dalam pemaparannya itu menyampaikan pemikirannya untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Korupsi.

"Bahkan pendapat saya, kalau perlu dibuat Satgas, ini akan lebih baik, jumlahnya 500 sampai 1.000 orang yang direkrut dari berbagai satuan dan kewilayahan, lalu menangani tindak pidana korupsi dengan anggaran khusus dari Mabes Polri," kata Tito saat menjawab pertanyaan dan kritik dari anggota Komisi III.

"Saya pikir Satgas itu lebih efektif dibandingkan struktur Direktorat Tipikor yang dia terkunci pada jumlah orang yang itu saja. Kalau Satgas, jika dia sudah sukses tangani kasus, dia bisa dibubarkan," jelas Tito.

Menurut Tito, pengambilalihan seluruh penyidikan kasus korupsi, termasuk di KPK, seperti disampaikan oleh anggota Komisi III dari Gerindra, Wenny Warouw, adalah tidak bisa dilakukan pada saat ini.

Ada beberapa kendala yang membuat Polri dinilai belum efektif dan efisien dalam pemberantasan atau penanganan kasus korupsi sehingga belum siap mengambil alih seluruh penyidikan kasus korupsi. Di antaranya, kendala standar kesejahteraan atau gaji penyidik Polri yang menangani kasus korupsi hingga anggaran atau biaya penanganan kasus korupsi itu sendiri.

"Bapak-bapak (Komisi III) mungkin melihat kalau teman-teman di KPK memiliki standar gaji jauh lebih besar daripada teman-teman di Polri," kata Tito.

Tito mengatakan, anggaran penanganan kasus korupsi di KPK menggunakan sistem at cost, di mana berapapun anggaran yang diperlukan akan dibiayai dengan anggaran yang ada.

Sementara, anggaran penanganan kasus korupsi di Polri menggunakan sistem indeks, di mana pembiayaan penanganan suatu kasus dibatasi atau tergantung tingkat kesulitannya. Hal itu membuat penyidik Polri tidak maksimal dalam menangani suatu kasus.

"Kalau sekarang lumayan Rp208 juta. Tapi, kalau tetap dipatok dengan sistem indeks, enggak bisa maksimal. Nah, kalau bisa kami juga dengan sistem at cost, jadi berapapuk kebutuhan biayanya dipenuhi oleh negara, seperti KPK. Dengan begitu bisa mendongkrak prestasi mereka," katanya.

Selain kendala anggaran, Tito mengakui lembaga Polri yang dipimpinnya belum maksimal dalam pemberantasan korupsi lantaran rentan diintervensi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved