Penyidik KPK Diteror
Jika Dibiarkan, Teror Terhadap Novel Baswedan Bisa Menimpa Penegak Hukum Lain
"Pemerintah membuat Tim Pencari Fakta. Kalau dibiarkan KPK dan Polri ruang tidak cukup. Perlu ada pemerintah.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Insiden penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan belum terungkap sampai hari ke-40 sejak peristiwa terjadi, 11 April 2017 lalu di dekat kediaman Novel di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Upaya pengusutan kasus itu masih jauh dari harapan.
Pemerintah diminta turun tangan menangani. Apabila dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan akan terjadi insiden serupa yang melibatkan penyidik, penuntut umum, dan pimpinan KPK.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Peduli KPK menuntut pemerintah mengambil langkah tegas dengan cara membentuk Tim Investigasi Independen.
Tim Investigasi Independen berasal dari luar instansi Polri dan KPK. Tim independen yang akan diisi oleh berbagai kalangan dengan beragam latar belakang membantu menjamin akuntabilitas penanganan perkara.
Jika hanya Polri dan KPK yang bekerja mengungkap kasus, maka ada potensi perbedaan data atau informasi. Adanya Keputusan Presiden, maka kalau dua instansi itu punya versi masing-masing bisa diuji.
Anggota Divisi Investigasi dan Publikasi ICW, Tama S Langkun, mengatakan teror itu tidak dapat dipandang sebagai hal biasa.
Sebab, teror itu tak hanya kepada Novel, tetapi institusi KPK secara keseluruhan. Terlebih, ini bukan teror pertama melainkan beberapa kali.
"Pemerintah membuat Tim Pencari Fakta. Kalau dibiarkan KPK dan Polri ruang tidak cukup. Perlu ada pemerintah. Dari publik bisa menangani sehingga akuntabilitas penanganan perkara," tutur Tama, kepada wartawan, Senin (22/5/2017).
Menurut dia, apabila teror tersebut tak diungkap, maka ada potensi ancaman lebih besar di kemudian hari kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim.
Belakangan diketahui, Direktur Utama PT Sandipala Arthapura, Paulus Tanos, tidak dapat memberi kesaksian secara langsung di sidang e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (18/5/2017). Dia mengaku tak bisa pulang ke Indonesia karena keselamatan terancam.
"Ancaman pada penyidik dan saksi di kemudian hari," kata dia.
KPK diharapkan dapat memeriksa dugaan terjadi penghalang-halangan penanganan perkara korupsi atau obstruction of justice. KPK memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting, menilai tidak ada perkembangan signifikan dari pengungkapan kasus teror itu. Apabila pengungkapan kasus teror itu masih dilakukan Polri, maka dikhawatirkan penanganan kasus tidak akan diselesaikan.