Korupsi KTP Elektronik
KPK Persiapkan Delapan Saksi
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengibatratkan sidang perdana kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor seperti senapan mesin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menjelaskan, pihaknya sudah menyiapkan delapan orang saksi untuk dihadirkan dalam sidang kedua kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (16/3) besok.
Delapan saksi yang dimaksudkan memiliki porsinya masing-masing dalam kasus ini. Sementara Dua nama yang disebut dalam dakwaan pada kasus ini, Burhanuddin Napitupulu dan Mustoko Weni sudah meninggal dunia.
"Kamis minggu ini (16/3/2017) di sidang kedua e-KTP kami akan hadirkan delapan saksi yang ada hubungannya dengan dakwaan. Siapa saja delapan saksi itu kami tidak bisa beritahu sekarang, tunggu saja saat sidang kedua," kata Febri, Senin (13/3) kemarin.
Dalam seidang perdana 9 Maret 2017 lalu Irman dan Sugiharto didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi terkait kasus korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012. Irman adalah bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman sementara Sugiharto adalah bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto.
"Terdakwa satu (Irman) sejumlah Rp 2.371.250.000, 877.700 Dolar Amerika Serikat, 6.000 Dolar Singapura serta memperkaya terdakwa dua (Sugiharto) sejumlah 3.473.830 Dolar Amerika Serikat," kata Jaksa Penuntut Umum Irene Putrie saat itu.
Dalam dakwaan keduanya, Jaksa Penuntut Umum mengatakan Irman dan Sugiharto bersama-sama Andi Agustinus alias Andi Narogong, selaku penyedia barang dan jasa di Kementerian dalam Negeri, Isnu Edhi Wijaya selaku ketua konsorsium Percetakan Negara RI, Diah Anggraini selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Setya Novanto selaku ketua fraksi Partai Golkar, dan Drajad Wisnu Setyawan selaku ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan Ditjen Dukcapil tahun 2011.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengibatratkan sidang perdana kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor seperti senapan mesin yang memuntahkan peluru ke berbagai arah dan sudah menciderai banyak orang. "Kini, menjadi tugas para jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuktikan apakah semua nama yang disebut itu memang layak dilukai reputasi dan kredibilitasnya," kata Bambang.
Bambang mengatakan, sejumlah orang yang disebut menerima aliran dana dari proyek e-KTP telah membuat bantahan. Bantahan itu, kata Bambang, harus direspon KPK melalui proses pembuktian oleh para jaksa penuntut KPK. "Untuk menjaga kredibilitas dakwaan KPK, pembuktian terhadap keterlibatan nama-nama yang disebut dalam dakwaan itu harus terang benderang. Alat bukti harus jelas, siapa, kapan dan dimana," ujar politikus Partai Golkar ini.
Saat dakwaan dibacakan untuk terdakwa kasus e-KTP, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memaparkan puluhan nama dan sejumlah institusi yang diduga menerima dana hasil korupsi proyek e-KTP. Selain mantan menteri dan mantan Ketua DPR, puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 juga disebut menerima fee dari dana yang dianggarkan dalam proyek e-KTP.
Di antara mereka, ada yang kini menjabat menteri dan gubernur.
Bambang mengatakan, konsekuensi dari penyebutan nama-nama itu tentu saja pembuktian. Dalam konteks pembuktian, kasus dugaan korupsi proyek e-KTP ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi KPK. Proyek ini sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu.
"Kemudian, tentang aliran dana hasil korupsi proyek ini, belum jelas benar apakah KPK juga memiliki bukti kuat yang bersumber dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), rekaman CCTV, sadapan atau alat bukti lainnya," ujar Bambang.
Faktor lain yang juga cukup menentukan adalah berkurangnya jumlah saksi. Dua anggota Komisi II DPR yang tahu detil pembahasan dan penganggaran proyek ini pada tahun 2009 sudah meninggal dunia. Keduanya adalah Burhanuddin Napitupulu dan Mustoko Weni. Bahkan, lanjut Bambang, sebuah peristiwa digambarkan di dalam dakwaan, seolah-olah saksi yang sudah meninggal dunia itu masih hidup dan ikut membagi-bagi uang.
"Secara fakta memang terbukti bahwa penyelesaian proyek e-KTP melenceng jauh dari target waktu. Bahkan tidak ada yang tahu kapan proyek ini akan rampung. Artinya, jelas bahwa ada masalah besar dalam proyek ini. Karena itu, langkah KPK membawa kasus ini ke Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat. Hanya saja jangan salah bidik," papar Bambang.
Bambang menilai wajar jika sejumlah orang yang disebutkan dalam dakwaan itu tidak bisa menerima begitu saja dan langsung membuat bantahan. Ia juga menuturkan .asuk akal karena mereka merasa sebagai korban pembunuhan karakter. Mereka memaknai dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor itu dimaknai sebagai tuduhan karena dakwaan itu dipublikasikan secara luas, secara personal masing-masing sudah merasa dilukai," kata Bambang.
"Mereka sadar bahwa bertitik tolak dari publikasi dakwaan itu, publik akan mencibir dan menuduh mereka sebagai orang-orang yang ikut menikmati dana hasil korupsi proyek e-KTP. Begitulah risikonya ketika sebuah nama dikaitkan pada sebuah kasus korupsi," tambah Bambang.