ICW Sebut 49 Calon Hakim ''Ad Hoc'' Tipikor Masuk Kategori Merah
Dari catatan sementara koalisi, dari 58 calon, sebanyak 49 orang masuk kategori merah.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang diwakili oleh Aradila Caesar, Lalola Easter (Indonesia Corruption Watch) dan M Rizaldi (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia) menyampaikan hasil penelusuran rekam jejak, terhadap 58 calon dari 85 calon hakim 'ad hoc' pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor).
Adapun sisanya, sebanyak 27 calon, masih dalam penelusuran koalisi tersebut.
Dari catatan sementara koalisi, dari 58 calon, sebanyak 49 orang masuk kategori merah.
"Selain itu terdapat 6 calon masuk kategori kuning, dan hanya ada 3 calon yang berkategori hijau atau dinilai layak menjadi hakim Tipikor. Selebihnya 27 orang belum teridentifikasikan," ujar Peneliti ICW Aradila Caesar kepada Tribunnews.com, dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/10/2016).
Ia menjelaskan, calon hakim ad hoc yang masuk kategori Stabilo merah bila pada calon ditemukan adanya masalah administrasi, integritas, kualitas, atau independensi.
Adapun kategori kuning diberikan apabila calon sementara ini tidak ditemukan masalah soal administrasi, integritas, kualitas, atau independensi namun perlu diperdalam lagi oleh Pansel dalam proses wawancara.
Terakhir adalah kategori hijau yang artinya calon dinilai layak menjadi hakim Tipikor karena dinilai memenuhi kriteria administrasi, integritas, kualitas, dan independensi.
Disebutkan, laporan dari koalisi itu diterima oleh Ketua Pansel, Hakim Agung Artidjo Alkostar.
Direncanakan pada 10-13 Oktober 2016 Mahkamah Agung akan melakukan tahapan seleksi profile assesment dan wawancara terhadap 85 orang calon hakim ad hoc Tipikor pada tingkat pertama dan banding.
Aradila, menyebut, pihaknya mendorong agar proses seleksi calon hakim ad hoc pengadilan Tipikor 2016 dikawal karena Pengadilan Tipikor saat ini mendapat banyak sorotan dari publik.
"Apalagi hingga kini sudah ada 7 hakim tipikor yang tersandung perkara korupsi. Institusi Pengadilan juga dinilai belum memberikan efek jera terhadap koruptor karena rerata vonis untuk terdakwa korupsi hanya 2 tahun 2 bulan penjara," katanya.
Atas hal itu, kata Aradila, agar MA tidak salah memilih hakim adhoc dan sekaligus menyelamatkan Pengadilan Tipikor, Koalisi Pemantau Peradilan melakukan penelusuran rekam jejak (tracking) terhadap 85 orang calon hakim Ad Hoc Tipikor yang akan mengikuti proses seleksi profile assessment dan wawancara.
Terindikasi Pencari Kerja
Dari asepek integritas berdasar temuan hasil penelusuran, latar belakang profesi advokat menjadi profesi terbanyak.
Namun sejauh ini tidak ditemukan prestasi yang menonjol. Hampir tidak pernah menangani perkara yang menarik perhatian publik (high profile).
"Selain itu masih ditemukan advokat yang pernah membela kasus korupsi," jelasnya.
Temuan lain yang menarik adalah tercatat calon yang terindikasi merupakan “pencari kerja”.
Indikasi ini dilihat dari adanya calon yang pernah mengikuti beberapa seleksi calon pejabat publik, atau sedang tahap persiapan pensiunan atau bahkan telah pensiun.
Ada pula, imbuhnya, calon hakim adhoc tipikor yang sebelumnya merupakan hakim karir yang telah dipecat karena terbukti melakukan perselingkuhan.
Selain itu masih banyak calon yang merupakan hakim ad hoc PHI yang tidak melaporkan LHKPN saat menjadi hakim.
Dari aspek kompetensi, sayangnya masih ditemukan sebagian calon yang berhasil diwawancara atau ditelusuri tak memahami isu korupsi maupun pencucian uang secara baik.
Bahkan calon tak tahu jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001.
Calon juga tak menguasai persoalan teknis tentang pidana tambahan berupa uang pengganti atau pidana tambahan lain seperti pencabutan hak politik.
"Calon tak dapat menjelaskan soal kewenangan KPK melakukan penuntutan pencucian uang," katanya.
Muncul juga gejala adanya perpindahan hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial berupaya menjadi hakim Adhoc Tipikor.
Independensi, dari hasil penelusuran masih didapati calon yang berafiliasi dengan partai politik bahkan tercatatat masih aktif sebagai anggota partai politik dan pernah menjadi anggota DPRD atau mendaftarkan menjadi calon anggota DPRD.
Ini tentu akan menggaggu calon jika terpilih sebagai hakim. Independensi calon akan diragukan oleh publik. Sedikitnya ada 7 calon yang berafiliasi dengan partai politik.
Berdasarkan uraian tersebut maka Koalisi meminta Panitia Seleksi Calon Hakim Adhoc Tipikor dan MA untuk melakukan proses seleksi yang ketat dan tidak berkompromi (mengkatrol) terhadap calon-calon yang bermasalah hanya untuk memenuhi kekurangan hakim adhoc tipikor.
Selain itu koalisi menegaskan agar tidak meloloskan calon hakim ad hoc tipikor yang berstabilo merah atau tidak memenuhi kriteria administrasi, integritas, kompetensi dan independensi. (*)