Sabtu, 4 Oktober 2025

Kasus Natuna

Nelayan Tiongkok Masuk ke Natuna Bukan karena Faktor Ketidaksengajaan

Bagi para nelayan tersebut sebagian ZEEI dianggap sebagai wilayah tradisional mereka untuk menangkap ikan.

Warta Kota/henry lopulalan
Ahli Hukum yang juga anggota Tim 9 ( Tim Independen) Hikmahanto Juwana setelah bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Rabu (28/1/2015). (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mendorong pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap pemerintah Republik Rakyat Tiongkok terkait insiden dan klaim wilayah Natuna.

Apalagi kata Hikmahanto, Presiden Joko Widodo saat kunjungannya ke Jepang bulan Maret tahun lalu menyatakan klaim Tiongkok atas sembilan garis putus tidak memiliki basis dalam hukum internasional.

"Oleh karenanya dalam kebijakan luar negeri Indonesia harus dinyatakan secara tegas tidak diakuinya klaim Tiongkok atas Sembilan Garis Putus. Indonesia juga berharap agar dalam putusan Arbitrase Filipina melawan Tiongkok, Sembilan Garis Putus dinyatakan tidak sah berdasarkan UNCLOS," ujar Hikmahanto.

Dari sejumlah insiden yang terjadi dan terakhir yang dikejar oleh KRI Imam Bonjol, para nelayan asal Tiongkok memasuki wilayah ZEEI bukannya secara tidak sengaja.

Bagi para nelayan tersebut sebagian ZEEI dianggap sebagai wilayah tradisional mereka untuk menangkap ikan. Pemerintah Tiongkok pun mendukung tindakan para nelayannya dengan mengistilahkan daerah yang dimasuki sebagai Traditional Fishing Ground.

Dalam setiap protes pemerintah Tiongkok atas tiga insiden selalu disampaikan bahwa para nelayan asal Tiongkok memiliki hak melakukan penangkapan ikan atas dasar konsep Traditional Fishing Ground.

Hikmahanto menjelaskan Traditional Fishing Ground inilah yang menjadi dasar bagi Tiongkok untuk melakukan klaim atas Sembilan Garis Putus atau Nine Dash Line. Sebaliknya posisi pemerintah Tiongkok memposisikan diri untuk menafikan ZEE Indonesia di wilayah yang diklaim sebagai Traditional Fishing Ground.

Untuk itu, penangkapan kapal-kapal nelayan Tiongkok di ZEEI oleh kapal otoritas, termasuk KKP dan TNI-AL, disamping untuk penegakan hukum juga ditujukan untuk penegakan hak berdaulat.

Sementara protes oleh Kementerian Luar Negeri pada setiap penangkapan kapal nelayan asal Tiongkok adalah dalam rangka Indonesia tidak mengakui Sembilan Garis Putus berikut Traditional Fishing Ground.

Untuk itu menurutnya, Indonesia sudah sepatutnya memposisikan diri sebagai negara yang berkeberatan secara konsisten (persistent objector) atas okupasi Tiongkok berdasarkan Sembilan Garis Putus. "Bila tidak, Tiongkok akan mendalilkan Sembilan Garis Putus telah diterima sebagai hukum kebiasaan internasional," kata Hikmahanto.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved