Sabtu, 4 Oktober 2025

Revisi UU KPK

Pegiat Antikorupsi: Jawaban Presiden Abu-abu dan Tidak Tegas

Dan suatu saat akan terjadi lagi seperti pengalaman sebelumnya, yakni 2010 dan 2012.

Rahmat Patutie/Tribunnews.com
Julius Ibrani 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) akan terus menjadi modal politik untuk memojokkan Presiden agar mau bertransaksi.

Dan suatu saat akan terjadi lagi seperti pengalaman sebelumnya, yakni 2010 dan 2012.

Direktur Hukum YLBHI Julius Ibrani kepada Tribunnews.com  mengatakan bahasa "ditunda" yang dipakai Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu adalah bahasa yang abu-abu dan tidak tegas.

"Dia bukan iya tapi juga bukan tidak," ujar pegiat antikorupsi ini, Selasa (23/2/2016).

Dan yang lebih bahaya lagi, imbuhnya, membuka celah untuk negosiasi politik dan bukan kepentingan publik untuk pemberantasan korupsi.

"Ini semakin membuktikan bahwa Revisi UU KPK ini hanya isu yang dipakai sebagai modal transaksi politik," kata dia.

"Publik juga tahu bahwa ada RUU Pengampunan Pajak yang muncul secara tiba-tiba dan dianggap sebagai barter terhadap revisi UU KPK ini. Itu semakin menguatkan lagi," Julis menambahkan.

Karena itu dia tegaskan, selama Presiden tidak tegas untuk menolak dengan menyurati DPR bahwa Surpres berdasarkan Pasal 49-50 UU No. 12/2011 tidak akan dikeluarkan untuk Revisi UU KPK.

"Maka, isu ini akan terus jadi modal politik untuk memojokkan Presiden agar mau bertransaksi. Dan suatu saat akan terjadi lagi seperti di tahun-tahun sebelumnya," katanya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Pemerintah dan DPR sepakat bahwa Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ditunda.

"Tadi setelah bicara banyak mengenai rencana revisi, kita sepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini dan ditunda," ujar Presiden, Senin (22/2/2016).

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved