Opini
Freeport dan Pemimpin Kita
Kuncinya adalah keadilan dan niat baik bersama, karena semua negara ingin menyejahterakan rakyatnya.
Sejak zaman Orde Baru, jika berhadapan dengan investor asing, Indonesia terbiasa dalam posisi lemah. Padahal, sebagai pemilik gunung emas Ertsberg (1967) dan Grasberg (1988) di Tembagapura, Mimika, Papua, mestinya Indonesia mendapatkan porsi bagian memadai dan kenyataannya adalah tidak!
Pertanyaannya, mengapa itu terjadi?
Kalau mau sedikit introspeksi, dalam sejarah Indonesia sejak zaman kolonial, selain melahirkan pahlawan juga melahirkan orang-orang yang mengambil posisi berseberangan dengan kepentingan bangsanya (perfidious).
Mereka tidak peduli konstitusi, hanya peduli pada ambisi politik dan bisnis pribadi. Ironisnya, peran demikian hingga kini masih ada, bahkan semakin sering dilakukan oleh kalangan pemimpin sehingga berdampak masif.
Prinsip kontrak dan demokrasi
Kontrak karya adalah pertemuan antara para pihak dengan tujuan sama: mencari untung dengan cara saling melengkapi.
Para pihak harus berdiri setara dan tidak boleh ada dominasi satu terhadap lainnya. Tidak boleh salah satu pihak dengan jumawa memanfaatkan dominasinya dan atau memanfaatkan posisi lemah pihak lain (lemah modal, kemampuan, dan pengaruh), dengan menyalahgunakan keadaan lemah tersebut untuk mengambil keuntungan bagi dirinya (misbruik van omstandigheden).
Kontrak di mana pun di dunia ini posisinya berada di bawah konstitusi dan aturan turunannya, tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan.
Dalam kontrak, para pihak boleh mengatur apa saja kecuali yang dilarang oleh perundangan (causa civilis oligandi). Karena kontrak hanya boleh mengatur hal-hal dengan sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak).
Prinsip berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian di negara-negara lain (Ridwan Khairandy, 2013). Penyimpangan terhadap prinsip ini akan berakibat perjanjian seperti tidak pernah ada (null and void). Sehingga tidak etis suatu perusahaan asing dengan berbagai cara "mencoba menawar" konstitusi negara lain.
Karenanya timbul kewajiban kepada para pemegang kekuasaan untuk bertindak konsisten dalam menegakkan aturan. Sikap itu sekaligus akan mengajarkan penghormatan pihak luar terhadap hukum negara kita. Bukan sebaliknya: dengan kekuasaannya menggoda berselingkuh dari rakyat guna mengambil keuntungan pribadi dengan memelintir aturan.
Sekali aturan diberlakukan, maka harus berlaku kepada siapa pun tanpa diskriminasi. Sebagai contoh, jika aturan dalam UU No 4/2009 dan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012, mengatur bahwa mulai Januari 2014 tidak ada lagi ekspor mineral mentah dan mewajibkan bagi penambang untuk membangun smelter sebelum 2014, maka siapa pun harus menaati, termasuk menteri ESDM, Freeport, dan Newmont.
Jangan pernah memberi keistimewaan yang menyimpang dari peraturan, karena sikap itu justru akan menjatuhkan martabat Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Dalam hal Freeport, tugas para pemimpin seharusnya menjadi ringan karena berhubungan dengan perusahaan yang berasal dari negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus champion dalam hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Terlebih selama ini Indonesia selalu menganggap Amerika Serikat sebagai sekutu penting.
Oleh karena itu, jika hubungan akan diperpanjang, selain kesetaraan maka negosiasi harus dibangun dengan semangat penghormatan terhadap posisi Indonesia yang terus dan sedang belajar demokrasi dan HAM, perlu contoh nyata penerapan nilai-nilai dalam negosiasi.