Opini
Pilkada dan Uang Survei Kepala Daerah
Keinginan banyak pihak untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang bersih sepertinya masih sulit diwujudkan.
Oleh: Asrinaldi Asril
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keinginan banyak pihak untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang bersih sepertinya masih sulit diwujudkan.
Masalahnya, aturan dalam UU yang melarang partai politik untuk meminta "uang mahar" atau "uang perahu" kepada calon kepala daerah ternyata masih dilanggar. Permintaan terhadap "uang perahu" kini menggunakan modus lain, yaitu uang survei. Bahkan, menjelang pendaftaran calon kepala daerah, praktik permintaan uang survei ini semakin marak di daerah yang akan melaksanakan pilkada pada Desember 2015.
Setiap kandidat diwajibkan menyetorkan sejumlah uang yang sudah ditetapkan pengurus partai. Alasannya, uang tersebut akan digunakan untuk survei internal yang bertujuan mengetahui elektabilitas dan nominasi kandidat untuk diusulkan kepada pengurus pusat partai.
Setiap calon kepala daerah menyetor dengan jumlah yang sama sehingga apabila diakumulasikan jumlahnya menjadi besar. Apalagi dengan munculnya banyak bakal calon yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah, tentu uang yang diterima partai di daerah juga semakin banyak.
Modus baru permintaan sejumlah uang ini merusak norma pilkada yang sudah disusun dengan baik. Pembiaran terhadap masalah ini jelas semakin menurunkan kepercayaan publik kepada partai politik. Bahkan, bukan tidak mungkin praktik seperti ini menjadi sumber sengketa baru antara partai politik dan calon yang sudah menyetor, tetapi gagal diusung partai tersebut.
Kebijakan pengurus daerah terkait dengan kewajiban penyetoran sejumlah uang dalam pencalonan memang mengundang tanya. Apakah memang survei tersebut menjadi keharusan?
Selama ini, kalaupun ada survei, biasanya pengurus partai politik tidak memungut uang kepada calon yang mendaftar. Namun, perubahan peraturan yang melarang partai politik meminta sejumlah uang kepada bakal calon kepala daerah rupanya telah mengubah modus pungutan.
Fenomena uang survei ini jelas perlu mendapat perhatian, terutama dari penyelenggara pilkada, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Selain tidak sesuai dengan upaya memperbaiki kualitas pilkada, uang survei yang dibebankan kepada bakal calon juga menyebabkan tidak efisiennya pelaksanaan pilkada.
Pembusukan demokrasi
Jika diperhatikan, perilaku politisi di daerah memang belum berubah dalam pelaksanaan pilkada. Berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan dari pilkada tersebut. Perilaku seperti ini tentu bertentangan dengan semangat masyarakat yang menginginkan pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.
Sebenarnya, tanpa melaksanakan survei elektabilitas terhadap calon pun, partai politik sudah bisa menilai kelayakan calon yang mendaftar untuk diusulkan menjadi kepala daerah. Mengapa demikian?
Setiap partai politik memiliki pengurus dan anggota hingga ke tingkat RT dan RW yang dapat dijadikan referensi untuk memberikan penilaian terhadap calon yang mendaftar kepadanya. Seandainya partai politik telah melaksanakan fungsinya dengan baik, tentu pemetaan terhadap calon kepala daerah yang akan diusulkan menjadi gubernur, bupati, atau wali kota menjadi tanggung jawabnya.
Modus setoran dari calon untuk melaksanakan survei ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak mengapa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tersebut tidak mengantisipasi hal ini. Sebab, dari apa yang terlihat, motivasi mereka tidak lain adalah untuk mengambil keuntungan dari proses pendaftaran para bakal calon kepala daerah.
Mereka mencari celah dari aturan yang melarang pungutan dengan selubung kegiatan yang dianggap legal. Jika dari awal calon kepala daerah ini sudah dibebani dengan pungutan terselubung dari partai politik, tentunya hal ini akan berdampak pada motivasinya dalam menyelenggarakan pemerintahan.