Rabu, 1 Oktober 2025

Opini

Tahun Penuh Marabahaya

Jokowi beberapa kali mengirim pesan yang tidak senada dengan harapan publik.

Editor: Hasanudin Aco
KOMPAS/JITET
Ilustrasi 

Berkaca pada pidato Bung Karno

Pada 17 Agustus 1964, Bung Karno memberi judul pidatonya Vivere Pericoloso, tahun-tahun penuh marabahaya. Selain konsisten menyerukan ancaman neokolonialisme—kegundahannya sedari belia, sang proklamator juga mengingatkan rongrongan terus-menerus yang mengganggu kedaulatan dan kemajuan bangsa yang bersumber dari ketidaksepakatan merumuskan dan menentukan prioritas tugas besar nasional, terutama karena campur tangan kepentingan elite minoritas.

Kegaduhan tidak perlu, jauh dari mencerdaskan, dan memunggungi gerak maju bangsa telah menguras energi, dan perlahan menggerus kepercayaan dan dukungan publik. Jelas Jokowi berada dalam kepungan oligarki kepentingan. Namun, dengan otentisitas rekam jejak kepemimpinannya selama ini, ia mempunyai kesempatan dan kemampuan melepaskan diri dari jeratan aneka tekanan.

Kesungguhannya melalui banyak mendengar dan membangun komunikasi dengan para akademisi, pemerhati ketatanegaraan, cerdik pandai, tokoh-tokoh bangsa, menunjukkan kemauan untuk meramu beragam perspektif di tengah komplikasi politik enam bulan terakhir.

Herry Tjahjono (Kompas, 16/2/2015) menyebut Jokowi sedang kita cemplungkan ke dalam "kolam kepemimpinan" dengan berbagai tekanan dan pengaruh yang sewaktu-waktu dapat mengubah diri idealnya: pekerja keras, pro rakyat, sederhana, dan thoughtfull. Apakah "kolam kepemimpinan" ini identik dengan "kawah candradimuka" yang kelak bakal mengubahnya menjadi pemimpin otentik, terdapat beberapa indikator untuk mengenalinya.

Pertama, sejauh mana ia berpegang teguh pada program Nawacita sebagai panduan melaksanakan cita-cita Trisakti yang menjadi andalannya saat kampanye dan menjiwai program pemerintah 2014-2019. Erudisi terhadap sisi politik-ekonomi-sosial budaya perlu sama kuatnya karena persenyawaan ketiganya sebagai entitas menghendaki lebih dari sekadar pragmatisme dan penyelesaian berdampak terbatas atau parsial.

Kedua, kecepatan mengevaluasi dan mengambil keputusan pada setiap kegentingan yang muncul dan merusak ekspektasi. Termasuk di dalamnya mengganti personel kabinet yang tidak memenuhi harapan, terkesan "cari aman" dan politicking. Ketegasan menempuh mekanisme ini akan menyemburatkan optimisme membuncah dalam pacuan reformasi birokrasi yang menegasikan praktik bisnis seperti biasa, fokus pada kerja dan tujuan program. Ini sekaligus juga kesempatan besar mengonsolidasikan "orang-orang baik" dan memiliki nyali besar menghadapi tantangan dan rintangan.

Ketiga, komunikasi serta dialog yang lebih baik dan akuntabel. Seluruh informasi dan kebijakan yang diambil pemerintah wajar mengundang pro dan kontra. Akan tetapi, basis argumentasi dan penjelasan utuh penting disampaikan agar tidak menimbulkan ramifikasi dan polemik tidak mencerdaskan.

Keempat, dalam suasana transparansi dan kebangkitan aspirasi rakyat, Jokowi dan para pembantunya ditantang mengenyahkan kesadaran palsu (false consciousness) pada setiap problem krusial yang bersentuhan dengan hajat orang banyak. Empat indikator ini merupakan "daftar tagihan" langsung untuk membuktikan "negara hadir" dan bekerja untuk rakyat dengan menjunjung tinggi kepastian akan keadilan.

Jokowi-Kalla perlu memperhitungkan berimpitnya kekecewaan kelas menengah (juga mahasiswa) dan masyarakat yang kehilangan kesabaran dan tak tersentuh radar para pembantunya. Serangan bergelombang para pendukung kompetitornya dalam pilpres lalu mulai berseliweran di media sosial. Juga dari para relawan dan pendukung yang tidak puas dengan kebijakannya.

Korupsi

Masalah besar bangsa sedari dulu hingga sekarang tetap berkutat pada korupsi yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan. Persekongkolan jahat minoritas elite politik-ekonomi-aparat hukum menjadi penghancur dahsyat moralitas bangsa dan masa depan anak-cucu. Seluruh daya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi terasa minimal dibandingkan fakta riilnya yang masif dan terstruktur. Lingkaran setan korupsi sistemik dapat diputus lewat moratorium dan amnesti terukur sembari menegakkan kepastian dan keadilan.

Reformasi Polri tak pernah sungguh-sungguh berjalan sejak Orde Baru. Berbeda dengan reformasi TNI yang mendapat dukungan penuh dari para pemimpinnya sehingga memuluskan langkah menjauhkan kekuatan bersenjata itu dari politik. Citra dan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri (juga DPR, kejaksaan, dan peradilan) konstan paling rendah dibandingkan terhadap institusi negara lainnya. Fakta ini tidak beroleh respons memadai dan cenderung diabaikan oleh pemerintahan saat ini.

Jokowi berjanji negara akan hadir dalam setiap ketidakadilan dan ketidakberdayaan rakyat. Kita akan selalu mencatat dan menunggu janji itu dengan tidak berhenti mengingatkan, mengawal, berdialog, dan mendoakan.

Suwidi Tono
Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Selasa (21/4/2015).

Sumber: KOMPAS
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved