Ironi Nasi Aking di Lumbung Padi
Krisis pangan lantaran harga beras mahal di Cirebon dan Indramayu adalah ironi.
TRIBUNNEWS.COM - Harga beras yang mahal dalam sebulan terakhir membuat warga di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, yang merupakan daerah penghasil padi nasional, kesulitan mendapatkan beras kualitas layak dengan harga terjangkau. Sebagian warga pun terpaksa mengonsumsi nasi aking, yakni nasi sisa yang dijemur hingga kering lalu dikukus kembali. Untuk menambah aroma, nasi aking ditaburi garam dan kelapa muda.
Tangisan Rizki Ramadhani, bocah berusia 8 tahun, membuat ibunya, Warni (35), warga Krangkeng, Kabupaten Indramayu, menghentikan suapannya, Kamis (26/2/2015). Sang anak menolak suapan nasi yang telanjur masuk ke mulutnya. Nasi lembek bercampur potongan pindang asin dan orek tempe itu dia muntahkan kembali. Nasi berwarna kusam dan berbau kurang sedap tersebut mengurangi selera makan Rizki.
Namun, tak ada beras lagi yang mampu dibeli Warni hari itu. Rizki harus menelan nasi yang disediakan ibunya betapapun tidak enak rasanya. Sang ibu tidak punya uang untuk membeli beras yang kini harganya selangit. Ayahnya yang seorang pengangon bebek juga belum mendapatkan upah atas kerjanya.
"Beras seperti ini saja saya beli Rp 10.500 per kilogram. Padahal, dulu hanya sekitar Rp 8.000 per kilogram. Pusing mikirin beras mahal. Kitae blih bisa ngliwet (Kami tak bisa menanak nasi)," ujar Warni yang sehari-hari menjadi buruh pembersih bawang merah. Ia diberi upah Rp 500 per kilogram dari pekerjaan itu.
"Saya sering tak makan juga. Beras yang ada buat anak-anak saja. Yang tua-tua ini mengalah. Kadang, ya, seadanya saja yang dimakan. Nasi aking juga kalau dikasih parutan kelapa sama garam, ya, blih pa pa (enggak apa-apa). Ya wis bagenlah (Ya sudah biarlah)," ungkap Warni yang diamini Tasini (30), saudaranya. Perempuan kakak-beradik itu, Kamis siang, membersihkan bawang merah hasil pemberian pemilik lahan di teras rumah Tasini.
Bagi warga Krangkeng, mengonsumsi nasi aking sudah hampir menjadi rahasia umum. Mereka sebenarnya malu mengungkapkan secara terbuka. Namun, kemampuan ekonomi yang terbatas memaksa mereka memakan sumber pangan apa saja yang ada, termasuk nasi sisa yang dijemur. Nasi itu oleh warga biasanya diolah lagi dengan dikukus, ditim, atau diliwet. Untuk menambah cita rasa, nasi aking biasanya diberi parutan kelapa dan garam.
Apalagi saat harga beras mahal seperti sekarang, warga sesekali menyiasati perut yang lapar dengan nasi aking. Mereka mendapatkan nasi aking dengan memanfaatkan sisa nasi keluarga atau membeli dari pedagang yang menjajakan keliling kampung. "Satu kilogram harganya Rp 2.500," ujar Konimah (37), warga lainnya. Nasi aking itu biasanya digunakan sebagai pakan ternak.
"Suami saya tukang becak di Cirebon. Sehari biasanya dapat uang Rp 11.000-Rp 13.000. Enggak tentu. Dengan uang segitu, tidak cukup untuk membeli beras. Kalau saya ikut kerja di sawah juga musiman, tak bisa setiap hari," kata Konimah.
Sawah di Krangkeng merupakan lahan tadah hujan. Sawah di sana hanya bisa ditanami sekali dalam setahun. Di sela-sela musim tanam dengan musim panen, warga umumnya menganggur. Sebagian ada yang merantau menjadi kuli bangunan, tukang becak, dan tukang ojek di luar daerah. Namun, ada juga yang jadi buruh di tambak garam dan bandeng di kawasan ini. Perekonomian warga tidak stabil dan cenderung minus.
Tak hanya warga di kawasan pertanian, mahalnya harga beras juga dirasakan mengimpit warga miskin perkotaan, termasuk di Kota Cirebon. Di beberapa pasar, harga beras kualitas satu bisa Rp 12.000 per kilogram, kualitas medium Rp 11.000 per kilogram, dan kualitas tiga Rp 10.000 per kilogram.
Harga beras itu sulit terjangkau Taska Eko Sonjaya (52), bapak lima anak, warga Kelurahan Kesambi, Kota Cirebon, yang sehari-hari mengayuh becak. Pendapatannya yang tak menentu membuatnya tidak setiap hari bisa memakan nasi.
"Saya sering nangis sendiri kalau lihat anak-anak menunggu saya pulang untuk bisa makan ubi rebus. Kadang-kadang, pada malam hari, ketika tetangga sudah tidur, istri saya memasak nasi aking. Malu kalau masak siang hari, baunya tercium tetangga. Nasi akingnya disangrai tanpa minyak, bisa buat penahan lapar," tutur Eko.
Untuk menyiasati harga beras yang mahal, konsumsi nasi keluarganya dikurangi jadi dua kali sehari. Pada malam hari, keluarga Eko memasak nasi sisa pemberian dari tetangga yang diolah jadi nasi aking atau merebus ubi. "Kalau ada nasi, saya utamakan anak-anak dulu. Saya dan istri mengalah," katanya.
Bersama istrinya, Titi Sulastri (44), Eko tinggal di depan Tempat Pemakaman Umum Jabang Bayi. Ia menempati bangunan rumah induk peninggalan mertuanya. Namun, rumah itu disekat dengan tripleks karena dihuni juga keluarga saudara mertuanya. Eko mendapatkan bagian ruangan berukuran 7 meter x 5 meter.
Lumbung padi Jabar