Minggu, 5 Oktober 2025

Opini

Kiblat Hukum Kita

Lantaran esensi dan jabaran demikian itulah, ia dijadikan induk hukum.

Editor: Hasanudin Aco
KOMPAS.COM/RODERICK ADRIAN MOZES
Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Cinta KPK untuk Polri Bersih, melakukan aksi di saat car free day, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (25/1/2015). Dalam aksinya mereka memberikan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atas perseteruan yang terjadi antaran KPK dan Polri. KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES 

Setiap warga negara kita yang arif dan jujur pasti mengakui bahwa sudah bertahun-tahun kita berada dalam "kondisi darurat korupsi". Dan dalam kehidupan bernegara-bangsa kita, tak ada yang tak dirusak dan dibusukkan oleh kondisi demikian.

Baru sedari 2002, dengan dibentuk dan diundangkannya KPK, kita memperoleh momentum untuk benar-benar menggebrak wabah korupsi yang telah memonster itu. Dengan tepat laku korupsi telah dicanangkan sebagai "kejahatan luar biasa" (an extraordinary crime). Terlepas dari rangkaian tuduhan miring terhadapnya, KPK sejak berdirinya telah membuktikan diri sebagai cukup ampuh dalam mencegah serta membongkar kasus-kasus korupsi kakap. Melihat hasil-hasil itu, dukungan masyarakat bangsa bagi KPK juga makin lama makin kuat.

Namun, hukum Archimedes tak hanya berlaku di ranah sains, tetapi juga di ranah politik, yaitu dalam pergulatan antara kebaikan dan keburukan di dalam negara-bangsa dan/atau pemerintahan. Semakin kuat kehendak dan tenaga untuk menegakkan pemerintahan adil bersih, semakin kuat pula kehendak dan tenaga untuk meneruskan pemerintahan culas kotor. Begitulah, maka gelombang demi gelombang kriminalisasi terhadap KPK terus berlangsung. Hanya orang pandir yang tak bisa melihat bahwa di balik rangkaian gelombang kriminalisasi itu adalah betapa besar dan tak habis-habisnya keinginan kekuatan-kekuatan keburukan di negeri kita untuk membubarkan KPK.

Pengeruhan hukum

Setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas dari kekurangan-kekurangan (baik yang nyata maupun yang direkayasa) yang menandai KPK, perjuangan untuk mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit, hidup-mati, dan mulia-hinanya. Jauh hari Sokrates sudah mengingatkan kita: "Kehinaan bekerja lebih cepat daripada kematian". Ya, karena bagi setiap manusia atau bangsa terhormat, kehinaan memang jauh lebih buruk daripada kematian. Ia sudah membunuh reputasi kita sebelum ajal. Kematian hanyalah instansi tamatnya hidup, tetapi kehinaan terekam abadi sebagai jejak hidup—bau busuk yang akan terus berkisar ke mana-mana sepanjang masa.

Dalam kemelut KPK-Polri Plus, pertama-tama harus ditekankan bahwa hampir semua pihak melakukan atau bisa dituduh melakukan kesalahan. Memang tak ada manusia dewa. Justru lantaran ketiadaannya itulah, kita harus bisa memilah-milah aneka jenis dan gradasi rangkaian kesalahan, rangkaian motif, penghalalan cara, dan kriminalisasi yang terjadi. Kita perlu mengakui bahwa dalam kasus ini ada kesalahan prosedural dan kesalahan substansial juga dalam jenis dan gradasi yang berbeda-beda.

Di tengah kompleksitas kemelut masalah, keadilan terpuji hanya bisa ditegakkan dengan menyimak secara teliti rangkaian jenis dan gradasi dari kesalahan-kesalahan yang terjadi.

Misalnya, satu pertanyaan bisa diangkat, satu saja: apakah motif "balas dendam" Abraham Samad, jika betul ada, dalam penetapan BG sebagai tersangka lebih berbobot nista daripada motif keberangan pihak-pihak tertentu, juga jika betul ada, karena terganjalnya plot mereka untuk melenyapkan peluang bagi terbongkarnya rangkaian megakorupsi para penyelenggara negara beserta rangkaian laku korupsi destruktif dalam tubuh lembaga-lembaga penegakan hukum selama belasan tahun terakhir?

Menghadapi masifnya pengeruhan di ranah hukum selama sebulan terakhir, kita sama sekali tak boleh melepaskan dari spotlight agenda utama bangsa kita untuk menegakkan pemerintahan yang bersih. Untuk itulah KPK dibentuk. Ia bertugas menyelamatkan republik kita dari kanker KKN—dari kondisi "darurat korupsi"— yang disebarkan begitu dalam dan parah oleh maupun lewat kompleksitas para penyelenggara negara terutama di sepanjang Orde Baru dan pada tahun-tahun awal Reformasi yang sarat distorsi, kerancuan, dan keserakahan.

Kenyataan "darurat korupsi" atau "kejahatan luar biasa" ini masih berlaku dengan daya destruktif yang sungguh masih penuh. "Kriminalisasi" total dan sewenang-wenang terhadap pimpinan KPK haruslah dibaca dalam kerangka hukum Archimedes di ranah politik tadi: makin kuat tekanan untuk membongkar kehinaan dalam laku dan kehidupan bernegara, makin kuat pulalah reaksi balik dari para pemangku kepentingan yang menghendaki agar rangkaian kehinaan tak terbongkar dan terus merajalela.

Kondisi darurat korupsi ini melanda pemerintah dan masyarakat luas, termasuk lembaga-lembaga resmi penegak hukum itu sendiri. Tugas untuk mengatasi kondisi "darurat korupsi" adalah tugas eksistensial mahautama pada titik dialektika kontemporer dari negara-bangsa kita. Kita bisa menyebutnya politik dalam acuan tertinggi (politics in the highest order) dan dari status itu juga menjadi hukum dalam acuan tertinggi (law in the highest order). Ke situlah hukum kita mesti berkiblat.

Selama kondisi "darurat korupsi" masih berlaku, selama itu pula KPK mengemban hukum dalam perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah, maka seluruh penyelenggara negara yang bajik, terutama di dalam lembaga-lembaga penegak hukum, mestilah membulatkan hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga bajik demi memastikan bahwa politik dan hukum dalam acuan tertinggi itulah yang berlaku.

Insya Allah, energi dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan kiat-kiat yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa secara indah dan benar. Memang hanya dengan jalan itu kita bisa menyelamatkan bangsa dan demokrasi kita sekaligus—dan dengan itu pula menyelamatkan "tri-amanah" kita: Amanah Tanah Air, Amanah Kemerdekaan, dan Amanah Republik.

Mochtar Pabottingi
Profesor Riset LIPI

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved